Cerita Tentang Hidup


1. Tentang Pernikahan

Satu kabar yang membuat saya sedikit (oh, bukan. sepertinya banyak) berpikir tentang cinta dan pernikahan adalah kisah hidup dua orang ini. Saya hanya tau bagaimana mereka menikah dan menjalani tahun-tahun pertama pernikahan mereka. Saat itu, saya merasa sang istri begitu beruntung mendapatkan suami yang begitu memujanya, berusaha mati-matian untuk mendapatkannya meski perjuangan yang mereka lalui sangat tidak mudah untuk usia muda mereka kala itu. Namun kini, belasan tahun berlalu dari romantisme mereka saya terkejut dengan kabar bahwa mereka telah bercerai sementara anak ketiga mereka belumlah genap berusia satu tahun. Saya tidak tahu apa yang telah terjadi namun saya tidak menyangka bahwa semua itu bisa terjadi.

Dulu, otak saya dipenuhi semua kisah fairy tale dan drama korea bahwa orang yang menikah pasti saling mencintai (kecuali Siti Nurbaya) dan jika mereka sudah menikah then they life happily ever after. Atau setidaknya jika mereka saling mencintai tidak ada apapun yang bisa memisahkan kisah mereka (tsaah). Tetapi, saat saya semakin menua mendewasa saya semakin menyadari satu hal. Bahwa kisah terjadinya sebuah pernikahan dua orang tidak harus saling mencintai. Bahkan Lee Shin awalnya begitu membenci Sin Cae Gyong sebelum akhirnya menyadari bahwa Cae Gyong adalah perempuan yang baik untuknya. Dan bahwa seseorang yang saling mencintai bisa menjadi saling membenci seiring perjalanan waktu. Tidak ada yang selamanya. Apapun. Tidak ada yang selamanya. Termasuk hubungan dua lawan jenis yang berubah menjadi sebuah pernikahan yang kokoh sekalipun. Meski sudah beranak-pinak puluhan sekalipun. Semua hal masih memungkinkan untuk bisa terjadi.

Ada banyak kisah lain tentang pernikahan dan perceraian. Ada yang tetap menikah dan bahagia. Ada yang tetap menikah dan terbebani dengan pernikahannya. Ada yang bercerai dan hidupnya berantakan. Ada yang bercerai namun justru bahagia dengan perceraiannya. Atau bahkan ada yang tidak mau menikah dan bercerai karena tidak ingin kebebasannya terbelenggu dengan sebuah institusi bernama pernikahan. Semua itu pilihan, dan pastikan bahwa kita tidak pernah menyesali pilihan yang kita buat dan bersyukur dengan itu semua.

Dan saya? Hmmm. Saya masih ingin memiliki anak. Kalau bisa tiga. Namun satu saja sudah cukup membahagiakan untuk saya (sepertinya). Dan di negara ini, untuk bisa beranak-pinak dengan leluasa tanpa tekanan batin dan gunjingan orang masih diperlukan menikah bukan? Buat saya, menikah sekarang ini hanyalah bisnis. Dimana saya ingin mendapatkan anak dari Anda dan saya akan mengusahkan yang terbaik untuk membuat Anda bahagia, at least menemani perjuangan Anda menggapai mimpi Anda, semustahil apapun mimpi itu. Dan sepertinya berbisnis dengan seseorang yang dicintai dan mencintai lebih menyenangkan, hehehehehe.


2. Tentang Hati

Kali ini kabar dari orang yang lain lagi. Saya mengenalnya juga belasan tahun yang lalu. Seseorang yang lebih muda dari saya tetapi memiliki kedalaman iman yang luar biasa yang membuat saya kagum. Yah, dia jauh lebih muda dari saya namun memiliki kedewasaan yang jauh di atas saya. Dia bercerita bahwa dia rela meninggalkan apapun demi mempertahankan jilbabnya yang merupakan simbol keimanannya. Setelah itu saya masih mendengar kabarnya sedikit. Bahwa dia sudah jadi mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri terkenal dan saya berpikir itu wajar mengingat betapa cemerlang otaknya. Bahwa dia jadi aktivis kemanusiaan sekaligus aktivis perempuan, disitu saya semakin kagum bahwa bergaul dengan orang-orang 'bebas' tidak melunturkan imannya dan saya tetap kagum padanya. Tetapi beberapa bulan ini saya mendengar lagi kabar tentangnya, saya tidak berbicara langsung dengannya maka saya juga tidak tahu seperti apa hidupnya sehingga yang saya tahu hanyalah penampilannya dari luar. Yah, dari luar. Dia yang sejak kecil menyembunyikan keindahan rambutnya, kini mempertontonkannya dengan bangga bahwa itu adalah pilihan hidupnya. Dia memilih bercerai dengan suaminya karena dikhianati dan bertekad untuk tidak lagi menikah karena tujuannya menikah sudah tercapai yaitu memiliki anak (ih, kok kita sama sih!). Dan dia menganggap free sex adalah wajar (which is sebagai muslim seharusnya tidak melakukan itu).

Dia begitu berubah. 180 derajat dan saya tidak tahu apa penyebabnya. Karena saya bukan orang yang dekat dengannya maka saya hanya bisa menghargai pilihannya. Lagipula sepertinya salah menghakimi seseorang hanya karena pilihan hidupnya. Dan bukankah dalam islam kewajiban seorang muslim pada muslim lainnya berhenti pada memberikan peringatan (dan pasti orang-orang disekitarnya yang saya tahu begitu banyak orang taat yang pasti sudah lebih dulu menasehatinya)? Setelah itu urusan Allah Yang Maha Mebolak-Balikkan hati.

Yah, hati. Semuanya, semua hal yang terjadi dalam hidup seorang manusia berasal dari segumpal daging yang bernama hati. Seperti cinta yang sedikit saya bahas dalam poin pertama tentang pernikahan, ini juga berasal dari hati. Bagaimana orang yang begitu mencintai seorang perempuan hingga rela berubah demi perempuan itu, memilih meninggalkan perempuan itu bahkan tiga anak mereka tidak mampu membuat laki-laki itu bertahan? Dan bagaimana sebuah kehidupan bisa merubah iman dan hati seseorang hingga dia yang dulunya begitu taat, begitu ketat menjalankan perintah agamanya dengan bangga kini berubah meninggalkan semuanya demi sebuah 'kebebasan' yang dulu tak dimilikinya?

Saya merenungi semua itu, tentu dengan membandingkan hidup saya yang tidak ada apa-apanya ini. Selama  saya hidup, mengalami dan mempelajari semua kisah tentang kehidupan, mencoba berbagai cara untuk menemukan arti bahagia, akhirnya saya menyadari (setelah sekian lama) bahwa satu hal yang harus benar-benar dijaga kesehatannya adalah hati. Segumpal daging itu harus bersih dari semua hal yang berlebihan. Terlalu sedih, terlalu bahagia, terlalu mencintai, terlalu membenci, terlalu ambisius, terlalu apatis, terlalu optimis, terlalu pesimis, dan semua keterlaluan lain yang bisa membuat hati bekerja terlalu keras untuk mencerna itu semua hingga mengalahkan akal dan logika. Hingga kita berada dalam ketakutan-ketakutan yang tidak masuk akal dan bahkan tidak pernah terjadi dalam hidup kita. Membuat kita tidak merelakan apa yang harus direlakan, tidak bahagia dengan apa yang telah kita pilih, dan parahnya menyesali hidup hingga akhirnya kita tidak akan pernah menikmati apa yang Allah anungerahkan untuk kita dan berbahagia.

Dan dengan begini, saya jadi sadar bahwa kita hanya bisa menilai orang dengan apa yang kita lihat padanya hari ini, bukan kemarin dan bukan juga esok. Karena mungkin hari ini dia sudah begitu berbeda dengan kemarin atau besok mungkin dia akan berubah lagi menjadi seseorang yang lain. Semua orang bisa berubah. Hati setiap orang bisa berubah dan perjalanan ditambah dengan cara kita mengatur hati itu yang membuat perubahan-perubahan itu terjadi.

Saya masih tidak tahu bagaimana caranya merawat hati ini agar bisa tetap berada di jalurnya, tidak berlebihan pada apapun. Saya tahu itu sulit, memang sangat sulit. Tetapi sulit bukan tidak bisa. Dan saya bisa dengan membiasakan diri untuk tidak berlebihan dalam menghadapi apapun yang membuat hati ini bergejolak (apiiii kali bergejolak). Yang jelas saat ini saya berusaha menikmati setiap detik hidup dengan melakukan apapun yang saya suka. Andai ada sesuatu yang tidak saya suka, saya akan mengubahnya jika itu masih dalam area yang bisa saya ubah, namun jika tidak. Saya akan merelakannya, karena apa yang tidak bisa saya ubah dengan tangan saya sudah bukan urusan saya meski berakibat pada hidup saya.


4.Tentang Takdir

Di poin-poin awal sepertinya saya sedikit menyinggung tentang pilihan hidup dan berbahagia dengan apa yang kita pilih. Tapi taukah kita bahwa sebenarnya kita tidak pernah dibiarkan memilih? Benar-benar memilih hingga akhirnya kita puas, tenang, dan nyaman dengan pilihan kita.

Ini kisah hidup saya. Pernah saya mempertanyakan keberadaan Allah dan menentangnya. Saya kecewa karena apa yang saya rencanakan selalu tidak berjalan sesuai dengan keinginan saya. Saya kecewa karena apa yang saya pilih (meskipun menurut saya baik)selalu salah. Saya pernah menantangNya dengan berdoa "Ini pilihan saya, saya akan memperjuangkannya dengan semua kemampuan saya. Saya sudah tidak peduli apapun lagi. Dan jika memang Engkau ada, maka hentikan saya. Hentikan dengan kekuasaanMu." Saat itu saya tahu bahwa apa yang saya pilih adalah salah (setidaknya dimata masyarakat), tapi saat itu saya sudah tidak peduli mana yang benar dan salah. Saya tidak peduli pada surga dan neraka. Saya tidak tahu apa rasanya bahagia atau derita. Saat itu saya hanya ingin memperjuangkan apa yang saya pilih, dengan tangan saya sendiri.

Dan saya kalah. Takdir menuntun saya pada saat ini. Saat saya menuliskan semua ini dengan hati yang lapang dan sudah mulai samar dengan rasa yang saya alami saat itu. Bukan samar sih sebenarnya, peristiwanya dan orang-orang yang terlibat di dalamnya sudah memudar dari pikiran saya tetapi perasaan saya saat itu masih terasa hingga sekarang dan saya tidak ingin kembali merasakan rasa itu lagi seumur hidup saya. Caranya? Saya menyerah pada Allah. Tidak ada lagi pilihan hidup, hanya menjalaninya sesuai dengan apa yang saya yakini baik dan setidaknya masih baik jika dipandang oleh masyarakat. Bukan saya tidak memiliki keinginan, justru saat ini saya lebih istiqomah dengan apa yang saya inginkan dibanding saya dahulu. Saya masih mendoakan apa yang saya inginkan tapi saya tetap tidak kecewa jika doa saya tidak terkabul atau hidup saya tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan.

Dengan begini saya jauh lebih tenang dari apa yang pernah saya rasakan sebelumnya. Hidup saya hanya dipenuhi dengan usaha-usaha bagaimana agar semua waktu saya bisa digunakan dengan baik dan tidak sia-sia. Dan hasilnya, ketenangan hati yang didapat ini jauh melebihi dari harta apapun. Saya tidak dikejar target yang saya buat sendiri dan pada akhirnya tidak di-acc Allah sebagai takdir saya. Saya mempelajari kisah sukses dan gagal orang lain sebagai pelajaran. Bukan pada kesuksesan atau kegagalannya tapi pada sikap mereka saat menghadapi itu semua. Saya belajar untuk merelakan semua yang sudah terjadi dan apapun yang akan terjadi nanti, selama hati saya masih terpelihara keimanan dan ketaatannya pada Allah. It worth, I believe it. Saat saya kembali gamang dan terjebak pada keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan takdir saya. Saya hanya tinggal menggelar sajadah dan mencurahkan apapun yang sedang menjadi keresahan saya saat itu. Dan alhamdulillah, Allah memberikan ketenangan yang luar biasa setelah itu.

Jadi, saya tidak percaya hidup itu pilihan karena saya tidak pernah dibiarkanNya untuk memilih jalan saya sendiri. Which is good, karena saya bersyukur sudah berjalan sampai sejauh ini sekarang.


5. Tentang hidup ideal

Hidup ideal adalah lahir dalam keluarga berkecukupan, memiliki tubuh yang lengkap, wajah yang cantik, otak yang cemerlang, sekolah lancar sampai kuliah, bekerja, menikah dengan orang dan yang dicintai diumur yang cukup menurut masyarakat, mendapatkan apapun yang diinginkan, memiliki anak, cucu, dan mati dengan bahagia.

Really?

Lalu apakah yang lahir dari keluarga miskin tidak ideal? Apakah yang memiliki ayah dan ibu bercerai tidak ideal? Atau bagaimana dengan yang orangtuanya sudah meninggal? Mereka tidak punya pilihan bukan untuk membuat hidup mereka ideal? Apa semua orang harus sekolah tinggi? Bagaimana caranya menentukan kapan kita menikah? Jika sudah bersinggungan jalan dengan pasangan apa tidak bisa bercerai? Apa cinta tidak bisa berubah? Apa setiap orang menikah harus memiliki anak? Yakin bahagia dengan semua kemudahan hidup itu? Dan semua pertanyaan lain yang mempertanyakan semua keidealan itu.

Allah Maha Kreatif untuk menyamakan jalan hidup semua orang di dunia. Saya berpikir semua orang bisa bahagia apapun keadaannya dengan mengacu pada poin hati dan takdir di atas. Dan menurut saya hidup ideal bukan hidup yang ingin dilihat orang lain dari kita, tetapi apa yang paling membuat kita bisa nyaman dan at least menikmati hidup apapun keadaannya. Menerima takdir yang diberikan Allah untuk kita dan mengolah hati kita untuk tidak berlebihan memiliki rasa apapun atas takdir tersebut adalah jalan terbaik menuju hidup ideal. IMHO aja sih!


6. Tentang kematian

Sejak saya tidak berhasil untuk mendidik diri saya menjadi atheis, mau tidak mau saya harus percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian ini. Akhir-akhir ini saya banyak berpikir tentang kematian dan kehidupan setelah mati. Antara percaya dan tidak percaya karena hal itu termasuk sesuatu yang tidak masuk logika dan hanya perlu diimani. Maka dari itu saya masih ragu dengan kehidupan setelah kematian, tetapi juga takut seandainya itu benar-benar ada.

Saya tidak pernah berpikir tentang dunia yang akan saya tinggalkan setelah kematian, tetapi dunia seperti apa yang akan saya hadapi. Karena orang-orang yang mencintai saya kelak akan terbiasa dengan ketidakberadaan saya seiring perjalanan hidup mereka, tetapi dikehidupan selanjutnya? Saya benar-benar sendirian hanya menuai hasil semua perbuatan saya di dunia. Bukan masalah jika itu kebaikan, namun jika keburukan. Saya harus terima itu, tak lagi bisa merubah semuanya. Itu adalah hasil, tidak ada remidial, tidak ada perbaikan, tidak ada lagi. Hanya tinggal terima. Dan itu sangat, sangat, sangat menakutkan.

Saya egois disini. Yep, untuk satu hal ini harus egois. Bahkan orangtua yang paling cinta pada kitapun tidak bisa berbuat apa-apa dengan keadaan kita (yah, kecuali kalo mereka masih bisa berdoa untuk kita. Kalo mereka sudah pergi lebih dulu?). Ada tiga hal yang masih bisa membantu kita untuk merubah nasib kita di hidup setelah mati nanti. Ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan doa anak yang soleh. Dan itu tetap saja harus kita mulai sejak kita hidup di dunia ini bukan?

Saya harus lebih bisa legowo untuk berbagi ilmu yang saya miliki yang kadang kesombongan membuat saya menjadi pelit, saya harus lebih rajin untuk merelakan uang saya pada orang-orang yang lebih membutuhkan daripada memenuhi gaya hidup saya, dan jika diijinkan untuk memiliki anak, saya akan mengusahakan untuk mendidik anak itu untuk menjadi anak yang soleh. Semua itu harus dimulai dari sekarang.

Sebenarnya ada baiknya juga saya sering-sering ingat kematian ini. Setidaknya saya sadar bahwa semua poin yang saya sebutkan di atas itu pasti memiliki ujung, dan ujungnya adalah kematian. Dan mengingat kematian ini membuat saya juga menjadi tenang dalam menjalani hidup, sesulit apapun in syaa Allah. Karena apapun yang terjadi dalam hidup ini bumi gonjang-ganjing, bencana alam, peperangan, kelaparan, apapun itu toh semua itu hanya kehidupan. Dan kita pasti mati, dan seperti apa kita mati, we never know about that.

So, hidup ini penuh sekali dengan cerita. Dan sekali lagi Allah Maha Kreatif dengan tidak membuat jalan hidup semua orang itu sama. Saya hanya ingin berusaha menikmati itu semua. Semua susah dan senangnya, semua sedih dan bahagianya, semua tangis dan tawanya. Saya hanya ingin menikmati itu semua dalam bingkai ketaatan yang membuat saya tetap punya bekal untuk kebahagiaan di kehidupan setelah kematian.

Life is good and that's the way it should be.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Tentang Bahagia

Hey!

Pakaian Perempuan