Hujan dan Mbak-Mbak Kantoran

Sudah berapa lama Jakarta kita ini tidak hujan? Oh iya, baru beberapa bulan karena awal Ramadhan yang lalu dan gua nggak berada di Jakarta saat hujan turun terus menerus.

Seberapa cintanya gua sama hujan? Itu sama kayak bertanya tentang seberapa cintanya gua sama orangtua gua. Oke berlebihan. Yang jelas hujan buat gua bukan sesuatu yang sendu, mellow apalagi galau. Hujan buat gua adalah keindahan yang harus dirayakan (dengan menari di tengah hujan misalnya). Dan gua paling benci kalau ada film dari negara manapun terutama India yang melatar belakangi tragedi cinta mereka dengan turunnya hujan. Come on, Maaann!! Kuch Kuch Hota Hai udah lewat sepuluh tahun yang lalu. Masih aja pakai konsep yang sama untuk menggambarkan kesedihan.

Saat hujan turun yang gua rasakan adalah kedamaian yang tidak pernah diberikan teriknya siang (bukan gua nggak berterima kasih pada matahari loh). Gua selalu percaya hujan adalah rahmat dan kasih sayang yang diturunkan Tuhan untuk bumi dan makhluk yang tinggal di atasnya. Gua juga percaya bahwa salah satu waktu yang mustajab terkabulnya doa adalah ketika hujan (gua lupa dapat pelajaran ini dari mana). Dan satu hal yang paling keren adalah. Mie rebus terasa lebih enak dari biasanya kalo dimakan ketika hujan...hehehehe

Satu pengalaman gua tentang hujan yang sampai saat ini masih gua ingat. Cerita ini melibatkan tukang ojek dan mbak-mbak kantoran sementara gua cuma sebagai pengamat.

Sekitar lima tahun yang lalu di pagi yang basah karena hujan gua berteduh di sebuah rumah yang kebetulan mepet trotoar tempat gua menunggu bis untuk kuliah. Biasanya bareng gua ada para pekerja kantoran yang juga ikut menunggu bis langka Bekasi-Lebak Bulus yang dulu masih lewat UKI bagian belakang.

Gua setengah mengantuk bersender di tembok rumah berusaha untuk tidak terkena setetespun air hujan karena perjalanan gua masih panjang hari itu. Sementara di depan gua ada mbak-mbak kantoran yang sudah berdandan rapi, cantik, dan pokoknya nggak kayak gua waktu jadi mbak-mbak kantoranlah. Dia berdiri di depan gua dengan wajah sendu dan membiarkan kecantikannya terkena tetesan hujan yang nggak begitu deras.

Detik pun terus berlalu. Beberapa bis lewat dengan menyisakan cipratan air di tubuh mbak-mbak kantoran tadi. Anehnya sejak cipratan dari bis pertama mbak-mbak itu nggak terlihat marah dan beusaha mencari tempat yang lebih aman dari cipratan air. Ia tetap disana berdiri tegak dengan wajah sendunya sampai kemudian tukang ojek bermantel di depannya menoleh dan berkata, "Lho Mbak? Kirain pakai mantel."
Setelah itu mbak-mbak kantoran itu mundur ke belakang dan berdiri di samping gua untuk mengamankan kecantikannya yang sudah setengah basah.

Dulu gua heran kenapa mbak-mbak kantoran itu begitu bodohnya berdiri di pinggir jalan tanpa menggunakan payung atau mantel untuk melindungi tubuhnya dari hujan. Tapi setelah mengalami rasanya menjadi mbak-mbak kantoran seperti dia, sekarang gua mengerti. Dunia kerja itu keras, yang kadang membuat otak kita jadi hang sehingga sesuatu yang remehpun kadang nggak kepikiran.

Ya kan?! :)
Sumber: google image

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Tentang Bahagia

Hey!

Pakaian Perempuan