Proposal

Gilang duduk sambil mengatur nafasnya. Sesekali ia meminum air mineral dari botol di tangan  kanannya.
Karin menatapnya mengejek, “Elo belum menang. Ayo, main lagi!” Katanya sambil men-dribble bola basket dengan tangan kanannya.

Gilang hanya melambai mendengar ejekan Karin, “Gua capek.”

Karin duduk di sebelah Gilang dan mengambil botol minuman Gilang dengan kasar dan menenggaknya.

“Katanya laki-laki lebih kuat dari cewek?” Karin masih mengejek.

“Ya, ceweknya jangan guru olahraga juga.” Gilang merebut kembali botol minumnya.

“Guru olahraga kan juga cewek.” Karin terus mengejek.

“Iya, cewek setengah cowok.” Sahut Gilang kesal.                                           

“Yah, makanya kan kita nyambung. Elo kan cowok setengah cewek.” Karin nyengir. Memperlihatkan gigi kelincinya yang berbaris rapi.

Gilang ikut tersenyum melihat keceriaan Karin, “Iya, kita cocok ya? Gimana kalau kita nikah aja?”

Karin mendorong kepala Gilang, “Eh, kampret kecil. Elo kalahin gua dulu main basket ini baru ngomongin nikah sama gua.”

Gilang bangkit dengan penuh semangat, “Oke!” Katanya sambil mengambil bola di kakinya dan mulai men-dribble-nya.

Pada akhirnya Gilang masih tidak bisa mengalahkan Karin meski maghrib sudah menjelang dan mereka harus mengakhiri permainan itu. Ia memang harus menyerah bahwa Karin lebih hebat darinya untuk permainan ini. Tetapi tekadnya untuk mengalahkan Karin semakin besar mengingat lamarannya akan diterima jika ia mengalahkannya.

Tapi masa ada sih perempuan seperti itu? Gilang sudah melamarnya berkali-kali dan dia hanya menganggapnya lelucon? Oke, mereka tidak pacaran. Tetapi hubungan mereka sudah lebih dekat dari seorang sahabat. Apa karena usianya yang lebih muda lima tahun? Tapi tetap saja Gilang sudah 24 tahun. Dia bukan lagi remaja yang meledak-ledak perasaannya melainkan laki-laki dewasa yang yakin dengan pilihannya. Termasuk calon pendamping hidupnya.

Gilang mendesah. Perempuan itu, satu-satunya perempuan –diantara sekian banyak – yang membuat Gilang merasa nyaman berada di dekatnya. Mereka berbagi apa saja. Mereka memiliki banyak persamaan. Dan dia satu-satunya yang bisa membuat Gilang berani berkomitmen. Tapi sayangnya, dia juga satu-satunya perempuan yang kebal dengan  rayuan Gilang. Dia terlalu tahu petualangan cinta Gilang hingga ia tidak pernah percaya pada apapun yang Gilang katakan padanya. Terutama masalah lamaran itu.

^_____^
“Biasa, Mas!” Kata Gilang sambil duduk di salah satu kursi di depan meja yang kosong.

Setelah bertanding basket sore tadi. Karin dan Gilang memutuskan untuk makan malam bersama di Warung Nasi Goreng langganan mereka.

Warung temaram dengan interior klasik itu memang lumayan ramai pada jam makan malam seperti ini. Ada satu meja kosong malam ini merupakan sebuah keberuntungan karena biasanya mereka makan dengan berbagi meja dengan orang lain.

“Karin juga biasa?” Tanya Karim tanpa menoleh sedikit pun dari wajannya yang penuh dengan masakan untuk pelanggan.

“Saya mi rebus aja deh. Lagi nggak pengen makan kwetiaw.” Karin mengambil tempat duduk di depan Gilang.

Arya mana, Mas?” Tanya Karin. Memang biasanya ia melihat anak berumur lima tahun yang ikut bermain sementara ayahnya bekerja.

“Sakit. Sudah dua hari ini dia demam. Sekarang di rumah sama neneknya.” Karim menjawab pertanyaan Karin sambil menghidangkan pesanan pelanggan.

Menurut Karin seharusnya dia mengambil pegawai. Terlihat sekali bahwa ia begitu kerepotan dan sibuk bekerja sendirian.

Karin berdiri menuju dapur yang memang dibuat terbuka meski letaknya di belakang, “Saya bantuin boleh, Mas? Kayaknya repot banget.”

Karim mendongak sebentar, menghentikan kegiatannya memotong tomat, “Nggak usah. Kamu kan pelanggan. Saya udah biasa kok sendiri.”

“Loh? Saya merasanya saya sudah lebih dari pelanggan  loh?” Karin tersenyum manis, “Bahkan Arya aja akrab banget sama saya.”

“Terima kasih, ya. Kamu bisa bantuin saya potong tomat dan timun ini? Kalau sudah tolong di tata di piring ini dan tolong sekalian antar ke meja nomor 3. Bisa?” Karim menatap mata Karin. Seolah-olah ingin melihat kesungguhan Karin untuk menolongnya.

Karin mengangguk dengan semangat, “Bisa.”

“Sekali lagi terima kasih, ya.” Kata Karim sebelum melanjutkan pekerjaannya yang lain.

Gilang yang menatap adegan itu dari jauh mendesah. Salah satu penyebab lamaran Gilang hanyalah menjadi lelucon bagi Karin adalah laki-laki ini. Laki-laki berusia awal tigapuluhan, duda satu anak, dan tampan. Oke, Karin menyebutnya kharismatik bukan tampan. Tapi coba lihat! Setiap perempuan yang makan di warung ini paling tidak melirik tiga kali pada Karim. Dan apalagi yang membuat perempuan mau makan di sebuah warung kecil selain makanannya enak dan pemandangan indah penjualnya? Warung ini memiliki keduanya.

Apa yang dilihat Karin dari laki-laki itu? Gilang memiliki pekerjaan dan karir yang lebih baik, lebih muda, dan yang paling penting Gilang lajang. Oke, Karin memang bukan yang pertama buatnya tapi setidaknya ia tidak memiliki buntut kecil berusia lima tahun yang membutuhkan perhatian ekstra. Ah, Gilang ingin sekali mengutuk pekerjaan Karin. Kenapa perempuan itu memilih profesi yang dekat dengan anak-anak sementara ada banyak pilihan karir untuk perempuan di luar sana? Dan konyolnya lagi Karin merasa mereka berjodoh hanya karena persamaan nama mereka yang hanya dibedakan huruf ‘n’ dan ‘m’.

“Besok nonton yuk!” Ajak Gilang ditengah-tengah makan malam mereka.

Karin menyeringai sinis, “Tumben nggak lembur.”

“Kalo besok gua lembur, nggak mungkinlah sekarang gua udah makan malam sama elo. Apalagi main basket dulu sebelumnya.”

Karin mengangguk-angguk, “Rosi kemana? Kenapa nggak  lo ajak nge-date pacar lo aja? Kasihan dia ditinggal lembur terus.”

Gilang menarik nafas berat, “Gua udah putus. Udah lebih dari tiga bulan yang lalu.”

“Oh ya?!” Karin terlihat terkejut, “Kok gua nggak tahu? Kok elo tumben  nggak cerita ke gua? Kenapa?”

“Karin! Gua nggak mau bahas itu, ya! Elo besok bisa nggak nonton bareng gua?! Gua yang bayarin semuanya.” Kata Gilang dengan nada suara sedikit meninggi.

“Euuu, gua kan cuma tanya. Nggak dijawab juga nggak pa-pa.” Karin mengkerut mendengar nada suara Gilang yang meninggi, “Besok sepulang ngajar eskul gua ada janji sama Tania.”

“Ya udah, bareng aja. Paling nge-mall juga kan? Sama Mas Angga juga? Tuh, elo nggak bosen apa jadi obat nyamuk mereka berdua, bahkan sampai sekarang mereka nikah. Kalau ada gua kan kita jadi double date.” Gilang menaikkan alisnya jenaka.

“Angga lagi dinas ke Bali. Makanya Tania bosen dan ngajak gua jalan-jalan. Jadi maaf ya, Dek! Waktunya cewek-cewek nih.” Karin nyengir.

“Bisa nggak, nggak manggil gua Dek lagi?” Sungut Gilang. Hah, kadang ia juga tidak mengerti pada dirinya yang begitu menginginkan perempuan ini menjadi istrinya sementara perempuan ini menganggapnya tak lebih seperti adik kecil yang tak pernah dimilikinya.

“Oke, elo mau dipanggil apa? Sayang?”

“Nah, itu merdu banget didengarnya!”

Karin menjulurkan lidahnya, “As you wish ya, Kampret Kecil! Elo jangan macem-macem!” Kata Karin sambil menunjuk-nunjuk Gilang dengan garpunya.

Gilang tertawa ngeri. Ia menyesal karena sudah begitu terbuka pada perempuan ini. Ia menyesal karena perempuan ini tahu segalanya tentangnya. Ia tidak menyangka hubungan mereka berkembang akan menjadi seperti ini. Banci juga sebenarnya mengakui ini. Seorang Gemilang Primayudha, yang biasa berganti-ganti pacar sekehendak nafsunya kini tak bisa lepas dari seorang perempuan. Dan parahnya tidak ada yang diberikan perempuan itu padanya selain kenyamanan dan perhatian sebagai seorang kakak.

“Okeee, jadi gimana? Gua ikut ya?! Gua kan bawa mobil. Lebih praktis kalo kalian mau kemana-mana. Lagipula Tania kan lagi hamil tua, ribet kalo naik angkot. Kalo naik taksi juga berat diongkos kan? Ya? Ya? Ya?”

Gilang terus memaksa.

Karin menghembuskan nafas, “Tanya Tania dulu gih! Kalo dia oke, gua oke.”

Gilang tersenyum dan langsung menghubungi Tania dengan penuh semangat.

^________^
“Jadi semenjak gua nikah sama Angga teman lo cuma Kampret Kecil ini, Rin?” Tanya Tania sambil menunjuk Gilang yang duduk di depannya dengan mulut yang penuh makanan.

Gilang mendesah. Ada apa sebenarnya dengan perempuan-perempuan ini? Kenapa mereka senang sekali mem-bully laki-laki yang lebih muda dari mereka dan memuja mati-matian laki-laki yang lebih tua dari mereka? Beristri sekalipun, apalagi duda anak satu seperti Karim.

Karin mengangguk, “Mau gimana lagi? Elo tahu sendiri kan orang-orang di kos kita gonta ganti. Ya, satu-satunya yang nggak ganti ya dia ini. Dia juga tumben aja bisa jalan-jalan gini. Biasanya kan lembur sepanjang tahun.”

“Oh ya? Wah, pasti basi banget hidup lo sekarang nggak ada gua yang bisa membuat hidup lebih hidup gini.” Tania tertawa. Karin juga. Dan Gilang mencibir.

“Iya, gua juga suka kesepian. Untungnya sekarang gua ngajar pencak silat buat anak-anak setiap selasa-kamis. Elo pindah lagi kesana aja. Nggak enak kan tinggal di rumah mertua indah?”

Tania mendesah, “Iya sih. Gua sama Angga juga maunya gitu. Lagian kalo gua pindah ke kosan lagi kan gua lebih dekat ke kantor. Lebih enak, apalagi hamil tua begini, tapi ibunya Angga belum ngijinin. Maklum, anak semata wayang.”

“Resiko kali, Tan. Tuh, Rin! Kalo lo nikah sama gua, lo nggak akan  terbelenggu di rumah  mertua indah. Gua belum nikah aja udah diusir dari rumah gini.” Sahut Gilang santai sambil mengambil kentang goreng, menanggapi curhatan Tania.

Tania mendelik pada Gilang, “Tan, Rin, Tan, Rin. Nggak bisa apa lo lebih sopan pakai embel-embel Mbak atau Kak gitu, Dek? Dan apa katanya tadi? Elo mau nikah sama Gilang, Rin?!”

Karin buru-buru menggeleng, “Kayak nggak tau dia aja, Tan. Dia baru abis putus dari pacarnya makanya korslet gitu. Nanti kalo udah dapat gebetan baru juga waras lagi.”

“Gua serius Karin! Gua harus gimana lagi sih supaya elo percaya kalau gua serius?” Gilang mengatakannya dengan suara hampir putus asa.

Tania menatap Gilang dan Karin bergantian, “Eh, kampret kecil. Elo  beneran ngelamar Karin?” Tanya Tania serius.

Gilang mengangguk mantap, “Iya, udah dari kapan tau dan cuma dianggap angin lalu sama Karin.”
Karin mencubit lengan Tania, “Apaan sih, Tan? Nggak usah lo seriusinlah omongan kampret kecil ini. Kayak lo nggak kenal dia aja. Dia kan rajanya modusin cewek.”

Tania tidak peduli dengan omongan Karin, ia menatap Gilang di depannya dengan serius. Yang ditatappun membalas tatap dengan serius. Seperti ingin membuktikan kesungguhannya pada Tania.

“Oke, kalo lo emang bener mau ngelamar Karin. Coba nyanyiin lagu paling romantis di depan sana.” Kata Tania akhirnya sambil menunjuk panggung kecil tak jauh dari tempat mereka duduk.

Mereka memang sedang duduk-duduk di square sebuah mall. Dimana tempat itu adalah ruang terbuka memanjang dengan café-café dan restoran cepat saji di kanan dan kirinya. Di ujung paling kanan terdapat air mancur menari dengan lampu warna-warni yang beratraksi setiap 30 menit sekali, sedangkan diujung paling kiri terdapat panggung kecil lengkap dengan peralatan musiknya. Kali ini sedang menampilkan sebuah band yang menyanyikan lagu-lagu the beatles.

“Disana?” Gilang menunjuk dengan jarinya mencoba meyakinkan diri.

“Iya, disana. Lagu paling romantis. Apa aja yang bisa membuat kami percaya kalo elo nggak main-main.”

Karin menatap Tania dan Gilang resah. Kenapa jadi serius begini sih? Bukankah lamaran Gilang padanya selama ini memang benar hanya lelucon?

Gilang menelan ludahnya, “Karin!” Karin menatap Gilang takut, “Ini semua gua lakukan cuma buat elo.”Gilang tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya genit kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan penuh percaya diri menuju panggung.

“Lo apa-apan sih, Tan? Dia kan mantan vokalis band waktu kuliah dulu. Tantangan itu mah gampang banget buat dia.”Karin langsung nyerocos begitu Gilang pergi.

“Ya udah lo nikahin aja.”Jawab Tania sambil tersenyum iseng.

“Eh, lo pikir?! Kecil-kecil gitu dia tetep aja kampret, Tan. Lo tau sendiri dia track record-nya jelek banget. Gonta-ganti pacar kayak ganti baju.” Karin bergidik ngeri.

“Kali aja sama lo dia mau berubah jadi lebih baik.” Tania angkat bahu. Matanya menatap lurus pada Gilang yang sekarang sedang bernegoisasi dengan pemain band. Dan memang hampir semua mata menatapnya karena lagu indah yang sedang mereka nikmati terinterupsi dengan keberadaan Gilang di panggung.

Karin mendesah. Semoga ini tidak serius. Ia tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa laki-laki yang melamarnya adalah laki-laki seperti Gilang. Lebih muda lima tahun dan parahnya lagi playboy sejati hingga mereka juluki kampret kecil.

“Maaf, semuanya.” Gilang tersenyum sambil duduk di kursi bulat tanpa senderan, “Saya menginterupsi disini karena saya ingin mempersembahkan sebuah lagu untuk perempuan yang saya sayangi.”  Sambungnya.

Suara riuh rendah terdengar dari penonton yang duduk-duduk di square itu. Bahkan pasangan-pasangan muda yang tadinya sedang menjaga anaknya bermain air mancur ikut menoleh ingin tahu.

“Buat dia yang duduk di sana.” Gilang menunjuk meja yang ditempati Tania dan Karin dengan tangannya sehingga semua orang menoleh dan menghasilkan suara-suara berisik berkomentar, 

“Bukan, bukan yang hamil. Itu istri orang.” Semua orang tertawa termasuk Karin dan Tania, “Ini untuk perempuan cantik di sebelahnya.”

Setidaksuka apapun Karin terhadap Gilang tetap saja pipinya menghangat mendapat perhatian sedemikian intens.

Semua orang bertepuk tangan saat Gilang mulai memainkan gitarnya diiringi permainan keyboard salah satu pemain band.

Pria mana yang tak suka senyummu juwita
Kalau ada yang tak suka mungkin sedang gobl*k
Engkau baik, Engkau cantik
Kau wanita, aku cinta

“Eh, kok dia nyanyi lagunya Iwan Fals sih? Sebenarnya lahir tahun berapa sih dia?” Komentar Tania.
Karin tak menanggapi omongan Tania. Ia sibuk mendengarkan Gilang yang sedang bernyanyi.

Mata indah bola ping pong masihkah kau kosong?
Bolehkah aku membelai hidungmu yang aduhai?
Engkau baik, Engkau cantik
Kau wanita, aku puja

Jangan marah kalau ku goda, sebab pantas kau digoda
Salah sendiri kau manis, punya wajah teramat manis

Gilang tersenyum sambil menatap Karin. Dan itu cukup untuk membuat Karin tersipu.

Wajar saja kalau ku ganggu, sampai kapanpun kurindu
Lepaskan tawamu nona agar tak murung dunia

“Eh, tapi romantis juga deng. Kok, dia kepikiran lagu kayak gini sih? Gua pikir dia bakalan nyanyi lagunya Glen Fredly.” Tania berkomentar lagi.
“Tanggung jawab lo, Tan! Gua nggak mau ah kalo disuruh nikah sama dia.”

“Kalo nggak ada Angga dan Angga Junior di perut gua juga gua mau kok Rin digombalin kayak gini. Emang kampret banget itu Kampret Kecil. Pantes pacarnya banyak.”

Karin yang tadinya sudah terbawa perasaan seperti kembali menginjak bumi begitu mendengar kalimat terakhir Tania. Ya, dia kampret kecil, Karin. Bukan laki-laki baik-baik seperti Mas Karim.   

Engkau baik, engkau cantik
Kau wanita, Aku cinta
Aku bujang, Kau betina
Bukan gombal, aku yang gila

“Ah, Karin! Kok, dia jadi charming gitu ya? Mata batin gua kayak dibuka gitu. Selama ini kan kita ngeliat dia cuma anak kecil, tapi kok sekarang gua ngeliat dia sebagai laki-laki dewasa yang mempesona. Aaaah, Karin. Gua meleleh!” Tania mengguncang-guncangkan bahu Karin dengan kasar.
Ini ibu hamil apa pegulat sih? Tenaganya gede banget hingga Karin terdorong, “Apaan sih, Tan?! Biasa aja kenapa? Kan gua yang lagi digombalin bukan elo.” Sungut Karin.

“Cieee yang digombalin sama bocah.” Goda Tania kini sambil mendorong-dorong bahu Karin dengan tenaga yang sama besarnya.

Saat ini perasaan Karin bercampur aduk. Antara senang dan takut. Ia senang ada seseorang yang begitu spesial melakukan semua ini padanya. Dan ia takut harus membalas semua perlakuan spesial itu pada orang itu.

Jangan marah kalau ku goda, sebab pantas kau digoda
Salah sendiri kau manis, punya wajah teramat manis
Wajar saja kalau ku ganggu biar mampus aku rindu
Lepaskan tawamu nona agar tak murung dunia

Beberapa orang ikut bernyanyi bersama Gilang. Sepertinya ia sudah menarik perhatian hampir semua orang yang ada di tempat ini.
“Tan, lo harusnya nggak usah nantangin dia kayak gitu. Ya, jelas dia beranilah. Playboy kecil kayak dia itu pasti kesenengan kalo disuruh ngegombal gitu.” Kata Karin setelah berhasil menetralkan perasaannya.

Kini yang tersisa hanya rasa takut jika harus bertanggung jawab atas tantangan Tania.

“Kayak elo nggak kesenengan aja digombalin gitu.” Ledek Tania.

“Iya seneng sih gua, tapi kalo gua harus tanggung jawab gimana? Gua nggak mau ah sama dia.”

“Ya udahlah, Rin. Gua lihat dia juga serius kok. Terima aja, daripada ngarepin Mas Karim yang cinta mati sama almarhum istrinya itu.”

“Ya mending dia kan udah teruji kesetiaannya? Dibandingkan Kampret Kecil itu? Gua nggak yakin dia setia. Atau mungkin dia penasaran aja sama gua karena pesonanya nggak pernah bisa naklukin gua.”

“Iya ya, Rin. Kok gua nggak kepikiran sampai situ ya?” Tania mulai menanggapi serius omongan Karin. Ia mengetuk-ngetuk telunjuknya di dagu dan pandangannya menerawang ke atas.

“Nah, mulai mikir kan lo sekarang?” Sungut Karin. Sahabatnya yang satu ini memang otaknya baru bisa mulai bekerja setelah anggota tubuhnya berbuat sesuatu.

“Tapi dia kan nggak ngajak pacaran, Rin. Dia ngajak nikah, itu nggak cukup buat lo untuk melihat keseriusan dia?” Katanya beberapa saat kemudian seperti mendapat ilham dari langit.

“Ah, Tania! Lo bikin gua stress tau nggak?!” Karin menutup wajahnya frustasi.

Tania menepuk-nepuk punggung Karin, “Ya udahlah. Kalo jodoh itu nggak mungkin kemana. Kalo dia emang bukan jodoh lo ya biar kayak gimana usahanya juga nggak bakalan kejadian sama lo. Tapi sebaliknya, kalo dia jodoh lo. Mau elo hindarin keujung duniapun pada akhirnya elo bakalanjadi juga sama dia.”

Mata indah bola ping pong masihkah kau kosong
Bolehkah aku membelai hidungmu yang aduhai

Mata indah bola ping pong masihkah kau kosong
Bolehkah aku membelai bibirmu yang aduhai

Mata indah bola ping pong masihkah kau kosong
Bolehkah aku membelai pipimu yang aduhai

Mata indah bola ping pong masihkah kau kosong
Bolehkah aku membelai jidatmu yang aduhai

Tuh kan, yang dipilih lagunya yang begitu. Pakai belai-belaian segala. Karin bergidik ngeri.
Semua orang bertepuk tangan setelah Gilang menyelesaikan lagunya. 
“Terima kasih. Masih mengijinkan saya untuk bernyanyi satu lagu lagi?” Tanya Gilang. Sepertinya ia sudah terbiasa berada di panggung seperti itu.

“Masih!!” Koor semua orang yang menonton.

“Oke. Sekarang saya akan menyanyikan lagu kesukaan dia yaitu dari Justin Timberlake dengan judul Mirror.”
Suara penonton semakin riuh mendengar judul lagu yang disebutkan Gilang, “Masih untuk perempuan yang sama. Enjoy!” Gilang tersenyum dan mulai konsentrasi memainkan gitar.
Karin blushing, Gilang benar-benar mengenalnya.

 “Eh, kok dia malah keenakan gitu sih, Rin?” Tanya Tania yang bingung karena Gilang masih melanjutkan pertunjukkannya setelah lagu pertamanya selesai.

“Ya salah elo lah! Mantan vokalis band lo suruh naik panggung.” Sungut Karin.

Tania tertawa.

Aren't you somethin' to admire?
'Cause your shine is somethin' like a mirror
And I can't help but notice
You reflect in this heart of mine
If you ever feel alone and
The glare makes me hard to find
Just know that I'm always parallel on the other side

'Cause with your hand in my hand and a pocket full of soul
I can tell you there's no place we couldn't go
Just put your hand on the glass
I'll be tryin' to pull you through
You just gotta be strong

'Cause I don't wanna lose you now
I'm lookin' right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I'll tell you, baby, it was easy
Comin' back here to you once I figured it out
You were right here all along

It's like you're my mirror
My mirror staring back at me
I couldn't get any bigger
With anyone else beside of me
And now it's clear as this promise
That we're making two reflections into one
'Cause it's like you're my mirror
My mirror staring back at me, staring back at me

Aren't you somethin', an original
'Cause it doesn't seem merely assembled
And I can't help but stare, 'cause
I see truth somewhere in your eyes
I can't ever change without you
You reflect me, I love that about you
And if I could, I would look at us all the time

'Cause with your hand in my hand and a pocket full of soul
I can tell you there's no place we couldn't go
Just put your hand on the glass
I'll be tryin' to pull you through
You just gotta be strong

'Cause I don't wanna lose you now
I'm lookin' right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I'll tell you, baby, it was easy
Comin' back into you once I figured it out
You were right here all along

It's like you're my mirror
My mirror staring back at me
I couldn't get any bigger
With anyone else beside of me
And now it's clear as this promise
That we're making two reflections into one
'Cause it's like you're my mirror
My mirror staring back at me, staring back at me

Yesterday is history
Tomorrow's a mystery
I can see you lookin' back at me
Keep your eyes on me
Baby, keep your eyes on me

'Cause I don't wanna lose you now
I'm lookin' right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now (please show me, baby)
I'll tell you, baby, it was easy
Comin' back into you once I figured it out
You were right here all along

It's like you're my mirror
My mirror staring back at me
I couldn't get any bigger
With anyone else beside of me
And now it's clear as this promise
That we're making two reflections into one
'Cause it's like you're my mirror
My mirror staring back at me, staring back at me

You are, you are the love of my life [x10]

Now you're the inspiration of this precious song
And I just wanna see your face light up since you put me on
So now I say goodbye to the old me, it's already gone
And I can't wait wait wait wait wait to get you home
Just to let you know, you are

You are, you are the love of my life [x8]

Girl you're my reflection, all I see is you
My reflection, in everything I do
You're my reflection and all I see is you
My reflection, in everything I do

You are, you are the love of my life [x16]

“Ih, kok gua seumur-umur nggak pernah dikasih lagu ya sama Angga? Gua jadi iri deh, Rin.”

“Ambil.”

“Beneran? Nggak nyesel?” Goda Tania.

“Nggak.”

“Tapi gua suka pilihan lagunya deh, Rin. Kesannya laki banget gitu. Romantis tapi nggak menye-menye. Dan emang lagunya dia banget. Romantic bad boy.” Tania ikut bertepuk tangan bersama yang lain setelah Gilang menyelesaikan lagunya yang kedua.

Gilang meletakkan gitar di tempatnya kemudian berdiri dan mengambil mic yang sebelumnya terpancang di tiangnya.

“Karin. Kamu tau apa itu sebuah ketulusan?” Suasana menjadi hening. Seolah-olah mereka semua tersedot dalam kalimat yang diucapkan Gilang, “Buat aku ketulusan itu adalah  mengenal kamu. Dua tahun hidup bersama kamu. So, Karin Sophia Ravanya. Would you marry me?”

Suara riuh rendah kembali bergema di tempat itu. Pipi Karin sudah memerah seperti kepiting rebus sekarang. Berani-beraninya dia.
“Aaah, Karin. Kok Angga dulu nggak gitu ya sama gua.” Tania mengguncang-guncangkan bahu Karin lebih kasar dari sebelumnya.
Ibu hamil ini…rungut Karin kesal.
“Maju! Maju! Maju! Maju!” Sorak sorai diiringi dengan tepuk tangan semakin keras dan semakin kompak memekakkan telinga Karin sekarang.
Kenapa harus seperti ini? Ia tidak ingin seperti ini karena ia tidak diberi pilihan untuk berpikir? Memang apalagi yang perlu dipikirkan Karin? Bukankah  kamu sama sekali tidak berniat untuk menjadi istrinya Kampret Kecil itu?
Semua mata menatap Karin sekarang dan Tania seolah-olah bersekongkol dengan semua orang dengan mendorong-dorong Karin untuk maju ke depan.
Karin sudah berdiri di hadapan Gilang sekarang. Kampret Kecil itu tersenyum menang.

“Maaf, gua nggak punya persiapan apa-apa. Ini juga spontan. Sespontan semua kalimat ‘kita nikah yuk’ dan ‘kalo elo jadi istri gua’ yang selama ini selalu gua selipin disetiap percakapan kita. Tapi apa yang gua rasain untuk lo semuanya nggak spontan. Itu semua tumbuh sejak persahabatan kita dua tahun yang lalu. Dan maaf juga harus kayak gini, gua tahu elo nggak suka jadi perhatian publik kayak gini. Tapi gua sangat berterima kasih sama Tania…” Gilang menatap Tania sambil tersenyum kemudian Tania membalasnya dengan melambaikan tangan, “…karena idenya untuk membuktikan keseriusan gua dipanggung ini. Gua serius Karin. Elo mau kan jadi istri gua?”

Karin menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

“Gilang. Terima kasih untuk lagunya.” Karin menelan ludahnya.

“Dan kalo yang elo butuh dari semua pernyataan lo selama ini adalah jawaban, maka jawaban gua adalah enggak. Gua nggak bisa dan nggak mau jadi istri lo. Maaf.”

Koor kecewa semua orang mulai terdengar. Apalagi raut wajah Gilang. Sulit untuk bisa Karin baca tetapi yang jelas ini raut wajah Gilang yang baru pertama kali Karin lihat sepanjang ia mengenalnya.

“Gua nggak tau lagi harus apa, Rin. ” Gilang mendesah kecewa, “Kayaknya selamanya elo nggak akan percaya kalo gua serius.” Gilang turun dari panggung kecil itu dan berjalan meninggalkan tempat itu diiringi tatapan sama kecewanya penonton drama mereka.

Deg! Karin merasa bahwa ia akan  kehilangan Gilang setelah ini. Dan baru kali ini ia sangat takut Gilang pergi dalam hidupnya. Karin berlari mengejar Gilang.

“Gilang!” Karin memanggil Gilang yang berjalan cepat menuju mobilnya diparkir.

Gilang berhenti dan berbalik. Tidak berkata apapun hanya menatap Karin dengan pandangan kecewanya.

“Elo serius?”

Gilang mendesah, “Bagian mana yang bikin elo nggak percaya kalo gua serius?” 

Karin terdiam. Ia tidak tahu  jawabannya. Ia masih tidak percaya pada Gilang namun ia juga tidak mau Gilang pergi dari hidupnya.

“Gua nggak tau. Gua masih nggak percaya kalo elo serius, tapi ngeliat elo kecewa kayak tadi gua takut.” Karin terdiam, “Gua takut setelah ini elo pergi dari hidup gua. Please apapun  yang terjadi hari ini jangan pergi dari hidup gua!”

Gilang mendesah kecewa, “Elo mau gua selamanya ada dihidup lo tapi nggak mau jadi istri gua? Terus apa? Setelah Mas Karim nikahin lo dan elo nggak butuh gua lagi gua harus apa? Ngerasa egois nggak sih lo, Rin?”

“Gua nggak ngelarang elo punya pacar kan? Bahkan menikah. Apa gua ngelarang elo?”

Gilang tertawa. Tetapi terdengar kepahitan dalam tawanya, “NGERASA EGOIS NGGAK LO?!”
Karin terdiam. Dadanya bergemuruh. Baru kali ini ia takut pada suara keras Gilang. Biasanya semarah apapun Gilang, semuanya hanya ia anggap sebagai angin lalu.

Suasana hening diantara mereka. Tidak ada satupun  yang berbicara. Terlihat Tania muncul dari kejauhan sambil memegang perut buncitnya.

“Karin. Please, pikirin dengan serius lamaran gua hari ini, ya. Gua akan terima jika elo nolak gua setelah elo mempertimbangkan gua sebagai laki-laki, yang sayang sama lo, yang mau menikmati hidup selamanya sama lo,  bukan sebagai anak kecil playboy yang selalu elo kata-katain. Please?” Suara Gilang melembut. Matanya menatap Karin hangat dan tangannya mengelus pipi Karin lembut. Semua itu membuat pipi Karin menghangat untuk pertama kalinya terhadap perilaku Gilang padanya.

Karin mengangguk.

Gilang tersenyum, “Makasih ya. Yuk, pulang. Kasian tuh ibu hamil. Semenit lagi dia disini ngeliat drama kita bisa langsung brojol itu bayinya.”

Tania yang tadinya menjaga jarak dari mereka berdua langsung berjalan cepat menuju Gilang dan memukul punggung Gilang dengan tasnya pelan.

“Yuk, buruan pulang. Gua udah capek banget nih. Langsung ke kosan kalian aja. Gua udah ijin mau nginep sama Angga tadi.”

“Tan, lo bantuin gua ya. Yakinin Karin untuk terima gua oke?” Kata Gilang sambil mengekor Tania yang berjalan cepat menuju  mobil.

Tania tersenyum licik, “Wani piro?” Kata Tania sambil merangkul Karin dan tertawa bersama Karin.

Cause I don't wanna lose you now
I'm lookin' right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I'll tell you, baby, it was easy
Comin' back here to you once I figured it out
You were right here all along


PS: Hey, my mirror! I miss you :*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Tentang Bahagia

Hey!

Pakaian Perempuan