Proposal (2)


Mereka menghabiskan malam terakhir mereka di Jogja dengan bermalam di Malioboro. Sesuai dengan rencana Edith. Ia bahkan sudah booking online hotel di sekitar sana sejak dari Jakarta, sementara pasangan baru yang norak itu hanya mengikuti kemanapun Edith pergi. Oh, bukankah mereka ke Jogja untuk berbulan madu? Kenapa sekarang mereka malah menjadi penguntit setia Edith?

Edith tersenyum melihat pasangan norak itu bernyanyi dan sesekali bergoyang mengikuti irama lagu yang dipersembahkan musisi jalanan Malioboro. Tidak buruk juga menghabiskan tiga hari di Jogja bersama mereka. Setidaknya dengan keceriaan yang mereka bawa, Edith kembali menjadi  perempuan berusia akhir duapuluhan yang masih penuh semangat bukan seperti nenek-nenek yang sudah bosan hidup dan tinggal menunggu mati.

“Kopi?” Seseorang meyodorkan sekaleng kopi dingin di depan wajah Edith.

Edith mendongak. Jiwo? Dia masih disini?

Edith mengambil kopi yang disodorkan Jiwo namun tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya, “Kamu masih disini?”

Jiwo tersenyum. Dia masih tak banyak bicara, hidup seperti sudah terlalu banyak mengubahnya. Jiwo yang sekarang bukanlah seperti Jiwo yang Edith kenal 12 tahun yang lalu. Senyumnya masih sama manisnya, tetapi ia sudah tidak terlalu banyak bicara seperti dulu. Edith tak masalah dengan itu, toh dia juga sudah begitu banyak berubah. Setiap manusia berubah, berevolusi.

Edith membiarkan pertanyaannya menggantung ditelan alunan musik jalanan yang semakin ramai penonton. Ia bahkan sudah tidak bisa melihat pasangan norak itu diantara penonton. Entah kemana mereka, Edith tak peduli.

“Malioboro indah ya?” Jiwo malah balik bertanya.

Edith hanya tersenyum dan mengangguk.

“Jogja indah ya?” Tanyanya lagi.

“Iya, semua indah. Semua tempat yang kamu perkenalkan kepada kami selama tiga hari ini semua indah. Yogyakarta luar biasa indah.”

“Gimana kalo kamu tinggal disini?” Kata Jiwo.

“Apa?!” Edith terkejut mendengar pernyataan terakhir Jiwo. Ia menatap laki-laki tinggi itu.

Jiwo kembali menatap Edith, “Tinggallah disini. Jangan kembali lagi ke Jakarta. Mulailah hidup di kota ini. Hidup yang baru, yang buat kamu bahagia, yang... ” Jiwo menelan ludah untuk menuntaskan kalimatnya, “...yang buat kamu kembali percaya bahwa ada cinta buat kamu.”

“Maksudnya?” Edith semakin tidak mengerti. Jiwo hanya lancar berbicara jika mengenai tempat-tempat wisata dan memang karena itulah Edith kembali menghubungi Jiwo sejak 10 tahun berpisah. Selama mereka membahas sikap apatis Edith terhadap cinta tidak ada satu katapun terlontar dari mulut Jiwo, hanya senyuman. Tapi apa ini?

“Menikahlah denganku, Edith! Aku...aku nggak bisa menjanjikan kamu apapun, tapi aku mau mencintai kamu.”

Edith ternganga, “Jiwo...nggak semudah itu. Kamu hanya mendengar sebagian dari ceritaku. Dulu mungkin kita teman akrab, tapi kita berubah. Aku berubah, kamu berubah. Dan tiga hari!” Edith tersenyum sinis, “Apa yang buat kamu yakin melamarku padahal kamu baru kembali mengenalku selama tiga hari?!”

Jiwo terdiam.

Edith menarik nafas panjang. Wah, ini semua sudah terlalu berlebihan! Pertama pasangan norak itu. Sekarang Jiwo. Oh, Jogja! Tidak bisakah Edith tenang dalam kesendiriannya?

“Mbak Edith! Yah, emang kecepetan sih. Tapi aku liat Mas Jiwo serius deh. Sinis banget sih jadi orang! Lagian nggak segitu asingnya juga kali. Kalian kan sahabat waktu SMA.” Tika tiba-tiba muncul di sebelahnya sambil menjilat es krim di tangannya.

“Langsung diem aja, Mas? Nyerah?! Mas Jiwo serius nggak sih? Atau cuma main-main aja seperti para laki-laki yang ada di hidupnya Mbak Edith? Mas Jiwo mau nambah daftar bajingan kaum kita di buku hitamnya Mbak Edith?” Kini giliran suaminya, Evan, yang bersuara. Dia juga memegang es krim yang sama dengan Tika.

Jiwo menatap Edith yang menghela nafas panjang. Entah apa yang terjadi dalam hidupnya selama Jiwo tidak ada hingga membuatnya menjadi begitu apatis dengan cinta. Tapi ada hal yang lebih penting baginya, now or never.

“Tell me how to fight for this!” Pinta Jiwo pada Edith.

Edith tertawa bahkan es krim yang dirampasnya dari Tika hampir menghambur keluar mulutnya. Masih hambar seperti tawanya selama setahun belakangan ini, “What fight? Apa yang harus diperjuangkan? Aku? Aku punya apa? Yang aku punya cuma luka.”

 “Sembuhkan luka itu bersamaku, Edith. Aku yakin luka kamu akan sembuh. Kamu bisa menikmati hidup disini. Bersamaku. ” Jiwo terlihat sungguh-sungguh dengan perkataannya.

Edith masih tertawa sinis. Ia tidak bisa percaya sedikitpun pada Jiwo, “Kamu yakin lukaku bisa sembuh? Kamu yakin kamu nggak akan menambahkan luka yang lain?”

Jiwo menggeleng lemah, “Maaf, aku nggak bisa janji apa-apa. Karena seperti yang kamu bilang. Apapun bisa terjadi di masa depan. Yang aku bisa bilang ke kamu adalah apa yang aku rasakan saat ini. Saat ini aku nggak suka lihat kamu yang kayak gini, yang apatis terhadap hidup, terhadap cinta...”

“Jangan kasihani aku! Aku nggak suka dikasihani.” Potong Edith.

“Aku nggak kasihan sama kamu! Aku...ah, susah ngejelasinnya, Dith.” Jiwo menghela nafas panjang, “Aku suka senyum kamu saat melihat sunrise di Puntuk Setumbhu, sunset di Pantai Indrayanti dan Candi Ijo, atau saat kita menikmati tengah malam di Bukit Bintang. Kamu bahagia saat itu, Dith. Aku yakin kamu bahagia. Dan aku suka lihat kamu bahagia.”

Senyum Edith masih sinis.  Gombalan apa lagi ini? Dua tahun yang lalu semua itu mungkin akan membuat hati Edith berbunga-bunga. Tapi sekarang semua itu hambar, tidak menggerakan hati Edith sama sekali.

“Heii, Malioboro! Jogja!” Suara Tika yang terdengar dengan menggunakan mikrofon mengalihkan mereka dari percakapan melelahkan itu.

Tika berada di tengah-tengah pemusik yang sepertinya sedang menunggu instruksi darinya. Sementara Evan dengan sigap mengarahkan handycam-nya ke arah istrinya untuk merekam kebodohan yang dilakukan istrinya. Bodoh menurut Edith.

“Aku disini untuk mewakili laki-laki pemalu di sana.” Tika mengarahkan tangannya ke tempat dimana Edith dan Jiwo berdiri hingga semua mata memandang mereka berdua, “Sayang! Kameranya ke mereka dong!” Tika bahkan sempat mengatur suami bodohnya dengan instruksi bodoh.

“Aku mewakili laki-laki pemalu disana untuk melamar perempuan keras kepala yang sedang bersamanya.”Kata Tika setelah yakin bahwa Evan sudah menyorot Edith dan Jiwo.

Rasanya Edith menyesal telah menganggap mereka berdua sudah mengembalikan masa mudanya. Dan seharusnya ia tidak merasa sedikit beruntung karena mereka berdua sudah memangkas ongkos perjalanannya menjadi setengahnya. Ia bahkan rela membayar ongkos perjalanan dua kali lipat demi tidak bersama pasangan norak ini.

“Mas Jiwo. Mbak Edith. Dan semua yang ada disini! Enjoy!”

Oh, dia sepertinya sudah biasa menjadi bintang pantura.

Suara gitar dipetik lembut disusul dengan suara cajon dipukul. Kemudian suara alat musik yang lainnya membentuk irama lembut akustik, tidak seperti sebelumnya yang iramanya begitu cepat dan menghentak.

Said all I want from you
Is to see you tomorrow
And every tomorrow
Maybe you let me borrow, your heart
And is it too much to ask for every Sunday?
And while we’re at it throw in every other day to start

Tika memiliki suara yang merdu dan Edith tahu lagu ini dan cerita dibaliknya. Mungkin sudah puluhan orang di dunia yang melamar pasangan mereka dengan menggunakan lagu ini.

I know people make promises all the time
Then they turn right around and break them
When someone cuts your heart open with a knife
And you’re bleeding
But I could be that guy to heal it over time
And I won’t stop until you believe it
‘Cause baby you’re worth it

Air mata Edith mengalir tanpa diduga. Ya, lagu itu benar-benar mewakiili perasaannya. Semua orang berjanji padanya. Membuat janji yang tidak pernah mampu untuk mereka tepati hingga akhirnya hanya melukai hati Edith.

Jiwo menyodorkan selembar tisu dengan ragu untuknya. Mereka masih jadi pusar perhatian selain Tika yang sedang menyanyi dengan suara merdu di depan sana.

So, don’t act like it’s a bad thing to fall in love with me
Cause you might f*ck around and find your dreams come true with me
Spend all your time and your money  just to find out that my love was free
So, don’t act ike it’s a bad thing to fall in love with me...
Me...
It’s not a bad thing to fall in love with me

Now how about I be the last voice you hear tonight?
And every other night for the rest of the nights that there are
And every morning I just wanna see you starring back at me
‘Cause I know that’s a good place to start

Jiwo mungkin adalah kesempatan selanjutnya yang diberikan Tuhan untuk Edith mengenal cinta. Atau mungkin kesempatan terakhirnya. Tapi Edith takut untuk kembali ke kehancuran hidupnya dulu saat cintanya tidak berbalik mencintainya. Rasa yang menyakitkan itu, menyedihkan itu, kebodohan itu. Edith tidak ingin merasakannya lagi. Jatuh cinta lebih menakutkan bagi Edith dibandingkan dengan kematian.

Dan Jiwo adalah laki-laki yang baru kembali dikenal dan mengenalnya selama tiga hari meski mereka pernah menghabiskan masa muda bersama. Bahkan dia yang begitu mengenalnya. Satu-satunya laki-laki yang bisa berbagi mimpi dengannya bisa melukainya separah ini. Bagaimana dengan orang asing ini? Meski terlihat begitu baik dan lembut.

I know people make promises all the time
Then they turn right around and break them
When someone cuts your heart open with a knife
And you’re bleeding
But I could be that guy to heal it over time
And I won’t stop until you believe it
‘Cause baby you’re worth it

So, don’t act like it’s a bad thing to fall in love with me
Cause you might f*ck around and find your dreams come true with me
Spend all your time and your money  just to find out that my love was free
So, don’t act ike it’s a bad thing to fall in love with me...
Me...
It’s not a bad thing to fall in love with me
Not such a bad thing to fall in love with me

No, I won’t fill your mind with broken promises
And waste time and if you fall
You’ll always land right in these arms
These arms of mine

So, don’t act like it’s a bad thing to fall in love with me
Cause you might f*ck around and find your dreams come true with me
Spend all your time and your money  just to find out that my love was free
So, don’t act ike it’s a bad thing to fall in love with me...
Me...
It’s not a bad thing to fall in love with me, me
Not such a bad thing to fall in love with me*

“Mbak Edith!” Kata Tika setelah menyelesaikan lagunya dan tepukan tangan untuknya sudah habis, “Jatuh cinta itu bukan hal yang buruk. Dan aku jamin Mas Jiwo laki-laki yang baik. Dan kalo ternyata aku salah dan Mas Jiwo nyakitin Mbak Edith. Aku dan Evan yang akan lebih dulu menghukum Mas Jiwo untuk Mbak Edith.” Tika tersenyum tulus sekali. Ucapan yang benar-benar berasal dari hatinya.

Jiwo menunduk mendengar kalimat yang diucapkan Tika karena entah kenapa semua mata langsung mengarah kepadanya. Mungkin mereka juga ingin menerka sifat Jiwo dengan melihat wajahnya.

Ah, pasangan norak ini! Edith tidak tahu harus apa. Kadang mereka begitu menjengkelkan tetapi kadang mereka begitu perhatian dan sayang pada Edith seperti kakak sendiri. Iya, kasih sayang yang mereka ungkapkan memang norak. Tetapi cukup untuk membuat hati Edith menghangat. Mereka sudah menjadi sedekat keluarga hanya dalam waktu tiga hari. Dan bagaimana dengan Jiwo?

Tak berapa lama musik kembali bermain seperti sebelumnya. Perhatian pada Edith dan Jiwopun semakin berkurang karena semakin diperhatikan mereka berdua semakin diam seperti patung.

“Gimana laguku tadi, Mbak? Bagus kan?” Tika dan Evan menghampiri Edith dan Jiwo.

“Kita balik ke hotel aja yuk!” Ajak Edith.

“Eh, kita kan belum makan malam.” Protes Evan, “Mas Jiwo. Enaknya makan dimana kita? Tapi saya nggak mau gudeg lagi. Bosen.”

“Kalian makan aja. Aku pulang duluan ke hotel.” Edith berjalan pergi meninggalkan mereka.

“Eeeh, Mbak Edith!” Tika menarik tangan Edith, “Terus lamaran Mas Jiwo gimana? Sia-sia dong suara merduku kalo hasilnya malah gantung gini.”

Edith menatap Jiwo yang kembali menatapnya. Lak-laki tinggi berkulit sawo matang dengan sorot mata yang tajam. Jiwo suka sekali tertawa pada kekonyolan Tika dan Evan. Dia pendengar yang baik saat Edith bercerita betapa bahagianya dia bisa menikmati keindahan alam selama perjalanan mereka. Jiwo yang hanya diam dan sesekali tersenyum saat mereka berdebat tentang sikap apatis Edith tentang cinta. Jiwo Satrio Pembangun. Laki-laki yang hanya butuh tiga hari bersamanya untuk dengan yakin  menyatakan bahwa kebahagiannya adalah melihat Edith bahagia.

Edith mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Mengetik sesuatu di ponselnya yang ketika selesai membuat ponsel di kantong Jiwo berbunyi.

“Itu alamat rumahku di Jakarta. Kalo kamu suka melihat aku bahagia dan kalo kamu yakin bahwa aku akan bahagia disini. Bersamamu. Silahkan datang ke Jakarta dan bawa aku kembali kesini.” Edith mengakhiri kalimatnya dengan senyum paling tulus yang bisa ia berikan pada Jiwo.

Jiwo tersenyum dan mengangguk.

“Yeay, Mas Jiwo! Semangat!” Tika menepuk bahu Jiwo hangat.

Jika Jiwo adalah kesempatan terakhir yang diberikan Tuhan untuk Edith mengenal cinta. Maka dia akan berusaha untuk membuktikan keseriusannya. Jika bukan, Edith sudah tidak memiliki rasa untuk menangisinya. Setidaknya Edith tidak menyia-nyiakan seseorang yang terlihat seperti kesempatan yang Tuhan berikan untuk kembali merasakan indahnya jatuh cinta. Ah, bukan! Jiwo Satrio Pembangun. Dia membangun cinta. Bukan menjatuhkan.

Dan jika Jiwo memang untuknya. Edith akan memastikan bahwa kebahagiaan Jiwo juga akan menjadi kebahagiaannya.

*Justin Timberlake – Not a Bad Thing

********************************************************************************
 Kenapa sih saya buat cerita tentang lamaran melulu? Karena saya belum pernah dilamar (minta dijitak)

Bukan, bukan cuma soal itu sih. Lagian abege banget kayaknya kalo masih ngarep lamaran di depan publik gitu...hehehe.

Jadi, mulai saat ini dan seterusnya saya nggak mau nulis cerita sedih. Apapun itu bentuknya. Kenapa? Karena menurut pengalaman Om Caca Handika saat dia menulis lagu angka satu yang booming itu dia sedang tidak ada masalah apa-apa dengan istrinya (ya ada kali, cuma nggak berasa aja) tetapi setelah kurang lebih setahun setelah lagu itu keluar dia bercerai dengan istrinya dan sampai sekarang dia tidak tahu penyebabnya selain dia jadi mengalami beneran apa yang dia tulis dalam lagu ini.

Sebenarnya ada juga beberapa penulis lain yang mengalaminya cuma yang membekas di otak saya cuma pengalamannya Om Caca Handika itu. Dan lagi novel pertama saya (yang kayaknya nggak akan saya publikasikan) itu menceritakan tentang seorang perempuan yang jatuh bangun membangun mimpi dan cintanya. Dan qodarullah, sebagian dari isi novel itu terjadi dalam hidup saya. Yang buruknya, yang membuat saya sempat depresi dan udah nggak mau hidup lagi....hehehehe.

Maka dari itu saya berpikir bahwa benar kata orang-orang bahwa pikiran manusia memiliki kekuatan yang luar biasa. Saya nggak mau nebak-nebak lagilah kesedihan orang yang belum pernah saya rasain itu gimana, takut nanti saya nggak kuat saat dikasih kesedihan seperti itu. Sementara untuk kebahagiaan...setiap orang pasti siap untuk menerima kebahagiaan meski kadang-kadang banyak juga yang berlebihan hingga lupa diri sih.

So, mulai saat ini kalo saya menulis kisah cinta ataupun hidup. Saya akan menulis yang manis-manis aja, pahitnya biar orang lain aja yang rasa (ih,,). Atau jika itu pahit, saya akan memastikan bahwa saya pernah merasakan kepahitan itu sebelumnya, bukan menebak-nebak.

Yang jelas, manis atau pahit hidup kita pasti ada pelajarannya. Dan yang paling penting bukan manis dan pahitnya hidup sih yang kita rasa. Tapi seberapa bijak dan dewasa kita dalam menjalani hidup setelah kemanisan dan kepahitan itu datang dalam hidup kita #tsaaaahh.

Cheers! 😁

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Tentang Bahagia

Hey!

Pakaian Perempuan