Tentang Agama

Sebenarnya saya tidak mau menulis hal tentang ini karena ini berat buat saya dan….sampai sekarang pencarian saya masih belum berakhir, dan mungkin akan selamanya. Namun karena tulisan tentang ‘warisan’ di facebook menjadi viral dan saya merasa tidak setuju dengan isinya (terlepas dari siapapun penulisnya), maka akhirnya saya buat tulisan tentang ini. Tentang pencarian saya akan keberadaan Tuhan yang akhirnya membawa saya pada pemahaman tentang sebuah agama.

Kenapa saya tulis ini disini bukan di facebook? Karena saya tidak ingin adanya pro dan kontra tentang tulisan saya. Dan saya tidak butuh pujian atau cacian untuk apa yang saya rasakan. Saya hanya ingin menuliskan perjalanan spiritual saya. Karena agama yang saya anut sekarang bukan warisan, melainkan sebuah pencarian dan pembelajaran.

Saya memiliki pertanyaan besar tentang keberadaan Tuhan dan hari pembalasan entah sejak kapan. Yang jelas puluhan tahun yang lalu. Saya mengimani keberadaan Tuhan yang ghaib itu sambil menikmati hidup seolah-olah saya tidak pernah akan mati. Angan-angan saya melambung jauh ke depan, merencanakan banyak mimpi, dan tetap berusaha berada dalam koridor ketaatan sebagai hamba Tuhan dalam agama saya. Saya mengimani keberadaan Tuhan, tetapi saya tidak pernah berpikir tentang pertemuan saya denganNya. Entah apa fungsi Tuhan dalam hidup saya saat itu. Tetapi yang jelas hidup saya berjalan dengan baik, normal, dan saya terlihat sebagai seseorang yang saleh dalam menjalankan perintah agama.

Beberapa tahun yang lalu saya mengalami sebuah guncangan yang luar biasa dahsyatnya dalam hidup saya. Karena pilihan saya sendiri yang tidak melibatkan Tuhan di dalamnya (bahkan membuangNya) dan setelah semua yang saya pilih hancur berantakan saya mulai menyalahkanNya, kembali meragukan keberadaanNya meski perasaan itu sudah saya kubur dalam-dalam di hati saya entah sejak kapan.

Awalnya saya marah padaNya. Saya menantangNya untuk berbuat apapun dalam hidup saya. Saya berhenti menyembah dan tidak peduli pada apa yang terjadi dalam hidup saya. Kemudian saya memulai pencarian saya tentang keberadaan Tuhan dan tujuan kenapa saya ada di sini.

Semua itu tidak mudah untuk saya, meski mungkin masih terlalu mudah bagi sebagian orang yang lainnya. Saya mulai kembali berkenalan dengan Tuhan dengan menanggung beban dosa yang selalu menghantui saya. Apa dosa saya akan diampuni? Apa perbuatan dosa saya akan dibalas di dunia ini? Apa saya harus minta maaf lagi? Tapi saya tidak mau lagi berurusan dengan mereka, tidak akan. Seumur hidup saya tidak akan berurusan lagi dengan mereka. Jadi bagaimana caranya agar saya bisa diampuni tetapi saya tidak ingin berurusan dengan orang-orang yang terlibat dengan dosa saya?

Dengan beban dosa yang besar dan ketakutan akan tidak diampuni karena saya tidak ingin lagi untuk meminta maaf, dengan ketidakpercayaan terhadap keberadaan Tuhan, dan dengan ketakutan jika seandainya hari pembalasan itu ada. Saya memulai pencarian spiritual saya. 

Awalnya saya membaca buku-buku dan mencari referensi tentang atheis. Saya ingin mempercayai apa yang saya dapat lihat saja selebihnya tidak. Tetapi tetap saja toh saya tetap takut akan keberadaan hari pembalasan yang membuat saya ragu. Stephen Hawking memang sudah membuat teori matematika tentang ledakan big bang tentang penciptaan alam semesta atau keberadaan black hole di alam semesta. Tapi apa dia sudah bisa membuktikannya? Hawking hanya menghitung dengan rumus matematika dan semua hitungan itu adanya diangan. Kita tidak bisa melihat semua kejadian itu bahkan melihat black hole dengan kasat mata (lalu apa bedanya pembuktian itu dengan Tuhan?). Itu tidak membuktikan apa-apa, tidak memuaskan saya. Tidak menghilangkan rasa ketakutan saya akan kehidupan setelah kematian.

Belum lagi jika berpikir tentang jiwa. Jiwa yang jika sudah berpisah dengan raga maka raga yang paling sehatpun tidak bisa berbuat apa-apa. Siapa yang bisa menjelaskan itu semua? Siapa yang bisa mengembalikan jiwa ke dalam raga? Kenapa tidak bisa diganti saja jiwanya jika raga kehilangan jiwa seperti sebuah mainan robot yang kehabisan baterai?

Ah, berpikir tentang semua itu melelahkan. Menguras semua energi tetapi kita tidak pernah mendapatkan jawaban. Dan jika kembali ke dunia nyata membuat saya terombang-ambing. Untuk apa saya berpikir semua ini? Kenapa saya tidak bisa seperti mereka? Menjalani hidup apa adanya. Menjalani siklus kehidupan manusia tanpa berpikir tentang ini semua. Hanya berpikir makanan apa yang saya makan, pekerjaan apa yang saya dapatkan, pasangan? Oh, ini gawat! Saya belum memiliki pasangan hidup sampai sekarang, apalagi keturunan? Umur berapa saya sekarang? Bagaimana nanti jika saya tidak akan pernah memiliki keturunan, dan harta benda apa yang saya kumpulkan untuk menunjang kehidupan normal saya sebagai manusia. Dan ternyata apa yang saya pikirkan dan anggap penting dalam hidup bukan sesuatu yang kebanyakan orang pikir dan dianggap sebagai standar ‘sukses’ dan ‘bahagia’. Memang adakalanya saya iri dengan semua pencapaian hidup mereka yang belum saya capai. Tapi kembali lagi ke pemikiran akan keberadaan Tuhan dan hari pembalasan. Itu semua menjadi tidak berarti apa-apa.

Di satu sisi saya merasa spesial bahwa Tuhan memilih saya sebagai salah satu manusia yang menggunakan otaknya untuk berpikir tentang itu. Otak yang kemampuan berpikirnya dahsyat, yang hanya diberikan kepada makhluk bernama manusia. Bukan hewan apalagi tumbuhan. Di satu sisi saya merasa kesulitan dengan semua rasa penasaran dan keresahan ini.  

Lalu bagaimana ini? Saya gagal menjadi seorang atheis. Dan saya masih tidak seberani atheis lainnya yang bisa tidak percaya pada keberadaan hari pembalasan. 

Saya kembali memulai untuk mengenal agama ‘warisan’ orang tua saya. Dengan beban dosa yang saya tanggung, saya menguatkan diri pasti ada jalan untuk bisa selamat sampai ke surga. Jika orang lain memulai memperdalam agamanya dari nol, saya menganggap bahwa saya memulainya dari angka minus. Entah minus berapa yang jelas saya memiliki banyak hutang untuk dibayar sebelum setara dengan mereka yang baru memulai mengenal agamanya.

Kenapa saya memilih agama ‘warisan’ dari orangtua saya sementara ada begitu banyak agama di dunia ini? Karena dari begitu banyak kisah hidup para pencari Tuhan yang saya baca, mereka juga memulai pencarian mereka dari agama yang paling mereka kenal, apalagi selain agama ‘warisan’ orantua mereka?

Saya mengenal islam karena orangtua saya, tetapi saya memilih islam bukan karena orangtua saya. Itu bisa dengan bangga saya tulis saat ini, karena islam yang saya pahami sekarang mungkin berbeda dengan islam yang orangtua saya ajarkan. 

Belajar islam dari awal meski kita sudah mengenalnya dari kecil ternyata tidak membuat saya menjadi lebih tahu dan hanya tinggal melanjutkannya saja. Banyak kejutan-kejutan yang terjadi. Banyak hal yang sebelumnya saya pahami adalah sesuatu yang benar ternyata adalah sesuatu yang salah. Menikmati membaca Al-Qur’an beserta terjemahannya membuat saya kadang menangis, kadang tersenyum, kadang terkagum, kadang….ah, banyak rasa yang tidak bisa diungkapkan oleh sebuah tulisan.

Saya jadi berpikir. Jika ini tidak benar, bagaimana rasa ini bisa ada? Jika ini tidak benar bagaimana hati ini tersentuh hanya dengan membaca? Jika ini tidak benar, bahkan saya mulai mengagumi apa yang saya tidak bisa lihat dan bayangkan.

Apakah dengan begitu masa pencarian saya berakhir? Jawabannya tidak. Saya masih terombang ambing akan keberadaan Tuhan dan hari pembalasan. Bagaimana jika akhirnya saya sudah mendedikasikan hidup saya sebagai muslim yang paling baik menurut versi saya ternyata agama yang digunakan di akhirat sana bukan islam? Bagaiman jika akhirat itu tidak ada? Bukankah sia-sia saya meninggalkan semua kelezatan hidup di dunia untuk memperjuangkan sesuatu yang tidak ada? Dan kenapa keberadaan Tuhan tidak pernah bisa dibuktikan dengan logika?

Saya selalu berdoa pada Tuhan dengan doa, “Wahai Tuhan Yang Maha Benar, mohon tunjukkan yang benar itu benar dan berikan hamba kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkan yang salah itu salah dan berikan hamba kekuatan untuk meninggalkannya.” Doa tersebut saya ucapkan setiap hari minimal lima kali sehari hanya untuk merasa yakin bahwa jalan yang saya pilih ini adalah jalan yang benar. Jika, ini bukan jalan yang benar. Maka Tuhan Yang Maha Benar pasti akan menunjukkan jalan lain yang lebih sesuai dengan kebenaranNya.

Jika akhirat tidak ada bukankah kita tidak akan bisa menyesali atau mempertanggungjawabkan yang sudah kita lakukan di dunia? Jika akhirat tidak ada maka setelah mati kita tidak akan menjadi apa-apa. Kita akan menghilang seolah-olah tidak ada kita sebelumnya. Jadi kenapa khawatir jika akhirat tidak ada? Khawatirlah jika akhirat itu ada karena jika akhirat ada maka semua yang kita lakukan di dunia akan dihitung dan diminta pertanggungjawabannya.

Seorang pendeta pernah berkata bahwa iman memang tidak bisa bersatu dengan logika. Iman tidak bisa dibuktikan oleh logika. Dan itu yang saya percayai sekarang. Keberadaan Tuhan dan hari akhir hanya perlu diimani bukan dibuktikan.

Sampai saat ini saya masih yakin dan semakin yakin dengan islam. Saya semakin semangat mempelajari islam lebih dalam dan yang paling penting bukan karena orangtua saya yang menjadikan saya muslim. Tetapi karena mempelajari agama ini adalah awal dari pencarian saya tentang keberadaan Tuhan.
Berdasarkan dari pengalaman hidup saya, jika kita benar-benar ingin menemukan kebenaran dan jati diri kita sebagai manusia hal pertama yang harus kita buang adalah kesombongan. Kesombongan dengan merasa berhak mempertanyakan semuanya. 

Saya merasa bahwa awalnya saya sombong. Saya mempertanyakan  ini itu yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan hidup saya. Saya menantang keberadaan Tuhan karena kehancuran hidup saya. Dan saya pikir itu salah.Jika saya benar-benar ingin mendapatkan sebuah kebenaran, pencarian tentang Tuhan, tentang agama, tentang hidup.Maka yang pertama kali saya tanggalkan adalah kesombongan. Kesombongan untuk mengarahkan kebenaran sesuai dengan keinginan saya bukan sesuai dengan kebenaran itu sendiri.

Sekarang, saat mempelajari agama ini kembali saya meletakkan semua kesombongan dan semua rasa yang saya punya tentang agama ini. Saya mengosongkan gelas saya untuk benar-benar melihat warna apa sebenarnya yang diberikan agama ini.

Saya tidak akan pernah merasa paling benar dan paling tahu. Karena proses pencarian ini akan terus berlangsung seumur hidup saya. Dan bagaimana jika kenyataannya saya berbalik menjadi musuh bagi agama ini? Tidak pernah ada yang tahu akhir dari hidup kita. Tidak satupun bahkan orang yang paling atheis sedunia sekalipun.

Ada banyak kejadian-kejadian di dunia ini yang terjadi secara randomly tanpa terprediksi sebelumnya. Bukankah itu sudah bisa menjadi bukti bahwa ada kekuatan lain yang menguasai dunia ini selain akal manusia?

Sesungguhnya perjalanan ini melelahkan, tetapi setiap persinggahannya menyajikan pembelajaran yang menghadirkan senyuman dan hangatnya hati. Saya menikmati ini, saya benar-benar menikmati proses pencarian ini. Yang akan terus menerus saya cari hingga akhirya saya mati.

Alhamdulillah ‘ala kulli hal 

PS : Hai! Terima kasih telah singgah dalam hidup saya. Tanpamu mungkin saya akan menjadi manusia rata-rata yang percaya bahwa Tuhan itu ada tetapi menjadi penyembah kehidupan dunia yang paling setia. Terima kasih dan maaf untuk semua waktu yang pernah kita lalui. Saya pulang. Saya kembali pada Dia. Yang meski memberikan hidup yang sepertinya buruk buat saya, saya tetap akan memujiNya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pakaian Perempuan

Dialog Tentang Bahagia

Kimbab/ Gimbab