CINTA ITU NGGAK ADA : Esittely

“Cinta memang pengorban, tetapi biarkan orang lain yang melihat pengorbanan itu. 
Jika kita sudah mulai merasa berkorban untuk sesuatu/ seseorang yang kita cintai, saat itulah kita sudah mulai berhenti untuk mencintai.”
-Sujiwo Tedjo-

Tuk! Tuk! Tuk! 

Suara ketukan di meja tempatnya tertidur membangunkan Dini dengan tiba-tiba.

Dini mendongak. Ia melihat laki-laki tinggi berkacamata tersenyum jenaka padanya. Dini melenguh saat melihat siapa yang membuatnya terjaga dan kembali menaruh kepalanya di atas meja.

“Din! Ifan udah pernah cerita belum pas UAS semester lalu dia nginep disini untuk belajar karena rumahnya lagi di renovasi?” Dante duduk di kursi kosong di depan meja tempat Dini merebahkan kembali kepalanya.

“Nggak. Kenapa?” Tanya Dini tanpa mengangkat kepalanya dari meja. Rasa kantuk menyerang dirinya dengan luar biasa.

“Tadinya dia mau nginep disini, tapi dia nggak jadi nginep disini dan akhirnya nginep di kosan gue. Lo tau nggak kenapa?”

“Kenapa?” Dini masih malas untuk mengangkat kepalanya dari meja dan ingin Dante segera menyelesaikan ceritanya dan pergi.

“Karena dia ngeliat mahasiswa pucat mondar-mandir di perpustakaan ini dari rak buku sana ke meja sini.”

Dini tersenyum mengejek, “Dia liat lo maksudnya?”

Dante sedikit mendelik. Yah, memang ia terlalu pucat untuk standar warna kulit laki-laki di negara ini.

“Bukan.” Dante membungkukkan tubuhnya untuk sedikit condong ke telinga Dini dan berbisik, “Mahasiswa pucat itu berjalan tanpa kaki. Alias, me-la-yang.”

Dini langsung menegakkan tubuhnya membuat dagu Dante terantuk kepalanya.

Dante meringis, “Aduh!”

Dini kesakitan juga sebenarnya, tetapi ia hanya mengusap kepalanya pelan dan segera membereskan buku, alat tulis dan notebook-nya.

Dengan bergegas Dini keluar dari perpustakaan kampusnya seolah-olah ia tidak pernah mengantuk sebelumnya.

“Din! Dini! Ah…” Dante mengelus-elus dagunya sambil menyusul langkah cepat Dini.

Tetapi begitu keluar Dini malah menghentikan langkahnya. Dia berdiri mematung di halaman depan pintu utama perpustakaan. Langit sudah gelap rupanya, pantas saja Dante mengajaknya untuk pulang.  Dini mendesah panjang. Ia sedang tidak ingin pulang. Ia lelah dengan semua kepura-puraan yang diciptakan orangtuanya di rumah.

Dia kembali tersenyum mengejek, “What they do all the time for this 5 years is pretending to be a family, not loves each other as a family.

“Apa?!” Tanya Dante yang sudah tiba disisinya.

“Nggak.” Jawab Dini sambil tetap memikirkan kemana ia harus pergi selain pulang ke rumah dan kembali ke perpustakaan berhantu itu.

“Lo mau kemana sekarang?” Tanya Dante lagi.

Dini menggerakkan bibirnya kesana kemari sambil sesekali mengigitnya. Kebiasaannya saat sedang berpikir atau gelisah. Dan Dante tahu itu.

“Gimana kalo kita ke tempatnya Dhika aja? Siapa tau dia lagi buat sesuatu.”
Mata Dini langsung berbinar. Ia menoleh pada Dante dengan senyumnya yang otomatis juga membuat Dante tersenyum.

Let’s go!” Dini merangkul lengan Dante dan berlari menuruni anak tangga perpustakaan.


“Ini adalah cilok saus tteokbokki. Perpaduan antara makanan jalanan Indonesia dengan Korea.” Dhika menghidangkan pinggan besar berisikan makanan berbentuk bulat dengan saus merahnya.

“Sausnya aja? Nggak ada tteokbokkinya?” Tanya Dini sambil mengambil garpu dan mengaduk-aduk makanan yang dihidangkan Dhika.

 “Lebih mirip seblak cilok.” Komentar Dante sambil mengikuti langkah yang diambil Dini untuk mengaduk-aduk makanan.

Dhika memukul kepala Dini dan Dante pelan, “Tinggal makan aja berisik banget. Ini fusion food! Pada ngerti nggak apa itu fusion food?!” Dhika duduk di salah satu dari dua kursi yang tersisa di meja itu.

Dini dan Dante kompak menggeleng dan dengan segera mencoba makanan hasil inovasi Dhika yang disebutnya sebagai fusion food.

“Gimana?” Dhika menanti komentar Dini dan Dante dengan mata berbinar.

“Mantap!” Dini mengacungkan jempolnya diikuti dua jempol milik Dante.

Dhika tersenyum puas mendengar pendapat kedua temannya. Kebahagiaan terbesarnya di dunia. Mendapat komentar positif tentang masakannya. Tapi? Apa dua orang ini pernah berkomentar negatif tentang makanannya? Mereka kan hanya kenal enak dan enak sekali.

“The And! Udah lama banget nih pada nggak ngumpul.” Arya, pemilik kedai sekaligus pamannya Dhika, duduk di kursi kosong sebelah Dante dan langsung bergabung menikmati fusion food buatan Dhika.

“Kalian sibuk kuliah?” Tanyanya pada Dante dan Dini dengan mulut yang penuh cilok.
Dini dan Dante saling tatap, “Nggak juga sih, Om. Emang kenapa?” Tanya Dini.

Arya mengangguk-angguk, “Kalo nggak sibuk banget sering-seringlah mampir kesini. Bantuin Om ngabisin makanan anehnya Dhika.”

Dhika menunduk malu sambil mengelus-elus belakang lehernya.

“Siap, Om!” Dante mengacungkan jempolnya,”Lagian juga masakan anehnya Dhika pasti enak kok. Ya kan, Din?”

Dini mengangguk, “Tapi Om. Jangan panggil kami The And lah! Kami kan belum tamat.” Dini memperagakan neck slicer dengan tangannya saat menyebut kata tamat.

“Aah.” Arya melambaikan tangannya, “The And. T-h-e-a-n-d. Bukan The End. Huruf depan nama kalian kan sama semua. Andhika, Andini, Andante.” Arya menunjuk dengan garpunya ke masing-masing orang saat menyebutkan namanya.

Dini tersenyum. Dante menjulurkan lidahnya jenaka. Dhika mengangguk-angguk.

5 tahun yang lalu

Suasana taman sore itu mulai sepi. Banyak orang memang lebih banyak memilih berada di rumah saat sore berganti malam. Mereka bilang saat itu para hantu mulai keluar dari persembunyiannya dan mulai beraktifitas layaknya pagi bagi manusia. Dan mereka takut akan hal itu.

Tetapi tidak bagi Dini. Ia masih duduk di salah satu kursi taman yang menghadap ke danau. Menunduk sambil memperhatikan kaki kanannya yang bergerak maju mundur hingga membuat udara di sekitarnya berdebu.

“Pulang.” Katanya sambil memajukan kaki kanannya, “Nggak pulang.” Katanya lagi sambil memundurkan kaki kanannya.

Begitu terus, berulang-ulang meski hatinya tak kunjung yakin mana yang akan ia pilih.

“Pulang aja.” Sebuah suara menghentikan Dini dari kegiatannya.

Dini mengangkat kepalanya. Seorang anak laki-laki sebayanya berdiri tak jauh dari tempatnya. Ia melempar kerikil ke danau hingga membuat beberapa kali pantulan.

“Lihat! Lihat! Lima kali! Itu rekor terbaru gue.” Katanya seolah tahu Dini sedang memperhatikannya.

Dini mengerutkan kening. Dia kenapa? Apanya yang lima kali?

“Pantulan. Batu yang gue lempar memantul lima kali sebelum tenggelam.” Ia berkata lagi seolah-olah mendengar suara hati Dini.

“Apa hebatnya?” Tanya Dini mulai tertarik.

“Tentu saja hebat! Nggak semua orang bisa melakukannya. Coba lo lempar batu ke sana!” Anak itu protes karena Dini meragukan keahliannya.

Dini bangkit dari duduknya dan mengambil kerikil di sekitar sepatunya. Ia melempar dalam hitungan detik setelah tubuhnya tegak. Dan kerikil itu langsung tenggelam bahkan tidak memantul sama sekali.

Anak laki-laki itu tertawa, “Lihat kan? Untuk membuat pantulan itu perlu teknik dalam melempar.” Dia mengambil kerikil yang tak jauh dari kakinya kemudian melempar dengan ancang-ancang yang berbeda dengan yang dilakukan Dini. Kali ini tiga pantulan.

Dini takjub. Ia penasaran bagaimana caranya dia bisa melakukan itu, “Ajarin buat pantulan kayak gitu dong!” Katanya pada anak laki-laki yang baru dikenalnya.

Anak itu sedikit berpikir, “Bukannya lo harus pulang?”

Langit memang sudah hampir gelap sempurna sekarang. Semburat  jingga yang tadinya mendominasi langit kini hanya tinggal segaris. Dan itupun hampir menghilang ditelan malam.

Dini menunduk karena kembali teringat masalahnya, tak lama ia menggeleng dan mengangkat kepalanya,

“Gue nggak mau pulang.”

“Kenapa? Ada ibu tiri yang jahat?” Anak laki-laki itu malah duduk di kursi yang sebelumnya diduduki oleh Dini.

Dini menggeleng, “Gue nggak punya ibu tiri.” Jawab Dini cepat, “Belum.” Ralatnya lirih.

Anak laki-laki itu tertawa, “Kalau belum ya jangan sampai terjadi.”

“Maksudnya?” Tanya Dini tertarik. Ia duduk di sebelah anak laki-laki itu.

“Orangtua lo masih ada dua-duanya?” Dini mengangguk, “ Masih menikah?” Dini kembali mengangguk,

“Lagi marahan dan mau pisah?”

Dini kembali mengangguk, matanya berbinar mendengar tebakan anak laki-laki itu yang tepat.

“Lo mau mereka pisah?”

Kini Dini menggeleng.

“Kalau begitu jangan biarkan mereka pisah! Lo harus pulang sekarang sebelum mereka memutuskan untuk pisah dan nggak ada lagi yang bisa menghalangi niat mereka untuk pisah.”

Dini terlihat ragu, “Kalau mereka tetap mau pisah?”

“Gue jamin nggak akan kalo elo maksa.”

“Kenapa lo bisa seyakin itu?”

“Karena orangtua sangat mencintai anaknya. Dan setiap orang akan melakukan apapun demi orang yang dicintainya.”

Mata Dini membulat. Ia langsung bangkit dari duduknya, “Oke, gue pulang. Terima kasih, ya.” Dini mengulurkan tangannya, “Dini.”

Anak laki-laki itu tertawa menyambut tangan Dini, “Dhika. Andhika.”

“Besok elo kesini lagi?” Dhika mengangguk, “Di waktu seperti ini?” Dhika kembali mengangguk, “Oke, sampai ketemu besok!”

Dhika mengangguk sambil tersenyum, “Oke. Pokoknya paksa orangtua lo untuk tetap bersama!”

Dini tersenyum sambil mengacungkan jempol. Ia kemudian berlari menjauh dari Dhika yang masih menatapnya hingga menghilang.

“Jangan pernah biarkan orangtua lo pisah. Karena nggak enak rasanya nggak punya orangtua.” Kata Dhika lirih, entah pada siapa.

-------------------------------------------------
Dini langsung menyapu pandangannya ke seluruh ruangan begitu memasuki Kedai Jajan. Ia hanya melihat Arya yang melambaikan tangan padanya sambil membuat minuman di bar.

Dini melangkah ke halaman belakang kedai. Sebuah lahan kecil yang dimanfaatkan Arya sebagai area terbuka dari Kedai Jajan duduk lengkap dengan air terjun buatan di salah satu dindingnya.

“Kamu tahu Dhika kemana?” Tanya Arya beberapa saat kemudian. Ia duduk di kursi di depan Dini.

Dini mengangkat bahu, “Aku juga nyariin dia. Kirain dia ada disini.”

Arya berdecak, “Anak itu. Makin gede makin sering hilang.” Arya melipat kedua lengannya di depan dada, “Dante mana?”

Dini kembali mengangkat bahu, “Aku juga nyari dia. Kirain dia ada disini.”

Arya berdecak lebih kesal. Bukan karena Dante tidak ada tetapi karena jawaban Dini yang hanya menjiplak dari jawaban sebelumnya.

“Saya pikir Dante akan nempel sama kamu terus kayak cicak. Dia kan suka kamu.”

“Masa?” Dini terlihat sama sekali tidak kaget dengan pernyataan Arya.

“Iya. Tapi kamu sendiri suka sama Dhika kan? Cinta segitiga yang rumit.” Arya geleng-geleng kepala.

Dini tersenyum mengejek, “Om Arya nggak curiga justru Dhika dan Dante yang memiliki hubungan?”

Arya mengerutkan keningnya tanda tak mengerti.

“Buktinya mereka hilang secara bersamaan gini. Ah, aku tersisih. Orang-orang kayak mereka bikin cewek jomblo kayak aku makin ngenes tau nggak?”

Arya tertawa. Ia mengerti kemana arah pembicaraan Dini sekarang.

“Eh, aku juga curiga nih. Om Arya kenapa sampai sekarang masih jomblo?” Dini melihat ke atas seolah-olah memikirkan sesuatu, “Om Arya juga nggak punya teman. Cuma Om Panji! Iya, Om Panji. Nah, kalian ini sumber kehancuran kami para jomblo.”

Arya tertawa keras sekali. Bahkan hingga orang-orang yang duduk di sektiar mereka menoleh. Termasuk seorang perempuan yang duduk tepat di belakang Dini. Wajah Arya terlihat berubah melihat wajah perempuan itu.

“Sebentar.” Arya bangun dari duduknya dan menghampiri perempuan yang duduk di belakang Dini.

Dini menoleh. Seorang perempuan cantik yang duduk di belakangnya tersenyum pada Arya yang sama sekali tidak tersenyum padanya. Arya hanya menghampirinya, raut jenaka saat ia mengobrol dengan Dini menguap entah kemana.

“Udah lama kamu nggak kesini.” Kata Arya pada perempuan itu.

Perempuan cantik itu tersenyum, “Udara hari ini cerah. Abang juga. Apa kabar?”

Arya tersenyum mengejek, perempuan ini tidak berubah meski sudah beberapa tahun dia tidak melihatnya, “Aku baik. Kamu sibuk apa sekarang?”

“Aku jadi Head Customer Service di bank dalam kampus. Aku akan sering mampir.” Perempuan itu tetap tersenyum.

Arya menghela nafas panjang, “Sampai kapan?”

Perempuan itu hanya mengangkat bahu sambil tetap tersenyum, "Sampai matahari tidak bersinar lagi? Sampai hujan tidak lagi menghadirkan pelangi? Atau sampai Abang menikah.........denganku." 

Arya menggelengkan kepalanya. Perempuan ini gila seperti biasanya. Ia berdiri dan berjalan meninggalkannya. Dan meninggalkan ribuan tanya di benak Dini. Siapa perempuan cantik ini? Yang membuat Arya yang jenaka berubah menjadi begitu serius.

3 tahun yang lalu

“Lo masih belum bisa ngalahin rekor gue kan Din?” Dhika bertanya dengan nada sombong. Ia kembali memulai ancang-ancang untuk membuat lemparan terbaiknya yang akan menghasilkan pantulan paling banyak di atas danau. Rekornya dua tahun yang lalu saat ia pertama kali bertemu Dini belum bisa terpecahkan, bahkan oleh dirinya sendiri.

Dini mencibir, “Elo sendiri aja nggak bisa ngalahin rekor lo. Lagian juga gue kan perempuan. Pasti bedalah kemampuannya sama laki-laki.”

“Ah, ngeles aja kayak bajaj. Coba sini cariin cowok yang bisa ngalahin rekor gue.”

Dini memandang sekeliling. Ia melihat seorang laki-laki berwajah pucat duduk di bangku taman yang menghadap ke danau. Tangannya memegang sebuah buku tebal dan kelihatannya ia sedang serius membaca.

Dini menghampiri laki-laki itu dan dengan sengaja menaruh tangannya untuk menutupi bacaan laki-laki itu. Otomatis laki-laki itu mendongak, dan Dini tersenyum.

“Mau coba lempar batu ke danau?” Tanya Dini sambil mengarahkan wajahnya pada Dhika.

Laki-laki itu mengerutkan keningnya dan menoleh pada Dhika yang juga tersenyum ke arahnya, “Untuk apa?”

“Untuk mengalahkan dia dengan membuat pantulan paling banyak sebelum akhirnya batu itu jatuh ke dasar. Rekornya terakhir lima pantulan. Dan itu sudah dua tahun yang lalu. Bahkan dia sendiri sekarang udah nggak bisa mengalahkan rekornya sendiri.”

Laki-laki itu kelihatan tertarik. Ia menutup bukunya dan bangkit dari duduknya.

“Gue Dini.” Dini mengulurkan tangannya, “Dan itu Dhika.” Dhika melambai pada mereka.

“Dante.” Katanya sambil menyambut tangan Dini kemudian segera melepaskannya untuk berjalan cepat menuju Dhika. Ia terlihat sangat tertarik dengan permainan Dini dan Dhika.

----------------------------------------------------------------

“Pulang sana!” Seru Dhika pada Dini, yang masih duduk di meja dekat air terjun, sambil membersihkan meja di sebelahnya.

Dini menggeleng, “Gue nginep disini aja.”

“Nggak ada kamar kosong. Lagian juga bahaya. Disini cowok semua.” Tolak Dhika. Tangannya masih cekatan membereskan kedai yang sudah tutup sejak setengah jam yang lalu.

“Bahaya kenapa? Cowok disini kan suka cowok semua.”

Pluk! Sebuah lap basah hinggap di kepala Dini. Dini mengambilnya dengan kesal tetapi yang melempar lap basah itu tidak kalah kesal. Dhika sudah berdiri di hadapan Dini dengan berkacak pinggang.

Dini tersenyum melihat Dhika berkacak pinggang. Sejak mengenalnya, Dini memang takut pada kemarahan Dhika.

“Eh, kemarin ada perempuan cantik datang kesini. Raut wajahnya Om Arya langsung berubah gitu saat melihat dia. Dia siapa sih?” Tanya Dini mencoba mengalihkan pembicaraan

Dhika terlihat terkejut sebentar kemudian melanjutkan pekerjaannya, “Itu Kak Mahi.”

“Kak Mahi? Siapa dia?”

“Orang yang suka sama Om Arya sejak…12 tahun yang lalu.”

“Wah, mantap! Gue nggak nyangka Om Arya punya orang yang setia sama dia sampai selama itu. Terus kenapa Om Arya nggak mau sama dia? Dia cantik kok dan kelihatannya baik. Apa karena Om Arya nggak suka cewek? Oooh, dia pacarannya sama Om Panji kan? Ya kan?”

Dhika melempar kain lapnya lagi ke kepala Dini. Namun kali ini Dini dapat menangkapnya sebelum kain lap itu menempel di kepalanya.

“Om Panji itu udah nikah. Udah punya anak. Dan Om Arya nolak Kak Mahi bukan karena dia nggak suka cewek.”

Dini terlihat kaget,“Oh, Om Panji udah nikah?! Kapan? Kok gue nggak tau?”

“Dia udah lama nikah. Sebelum kita saling kenal. Ya udah, elo pulang sana!” Dhika kembali mengusir Dini.

“Gue nggak mau pulang!”

“Emang kenapa lagi sih?” Suara Dhika kini melembut. Ia duduk di kursi di hadapan Dini. Ia meninggalkan sejenak pekerjaannya.

“Gue nggak tahu. Ayah dan Ibu sih emang nggak jadi pisah, tapi gue nggak pernah nyaman di rumah. Suasana rumah juga nggak kembali ke seperti dulu. Ibu jadi kayak ratu yang semua kemauannya harus dituruti oleh Ayah. Sementara Ayah, kayaknya nurutin Ibu hanya karena rasa bersalahnya bukan karena cinta.”

Dhika menarik nafas panjang, “Mereka nggak jadi pisah karena siapa?”

“Gue.”

“Terus elo nggak berbuat apa-apa untuk mengatasi kecanggungan yang ada di dalam keluarga lo?”

“Ya gue bisa apa? Mereka udah beda, suasananya udah beda. Ayah udah nggak punya cinta untuk Ibu sementara Ibu bersikap sebagai korban yang selalu merasa benar. Padahal menurut gue, Ibu juga punya andil kesalahan.”

“Lo bisa melakuka apapun, Din. Mereka melepas semua ego mereka dan tetap bersatu menjadi keluarga karena elo. Ya elo yang berusaha untuk menyatukan mereka. Bukan malah jadinya kabur kayak gini.”
Dini terdiam.

“Apa yang gue bilang saat gue minta elo untuk mempertahankan orangtua lo agar nggak pisah?”

Dini mengerutkan kening, “Setiap orang akan melakukan apapun demi orang yang dicintainya.”

Dhika tersenyum, “Nah! Mereka cinta sama lo. Elo harus tetap bersama mereka dan pelan-pelan membuat mereka bersatu karena lo.”

Dini mengangguk.

“Ya, udah. Pulang sana! Buat rumah lo senyaman yang elo mau, jangan malah kabur.”

Dini bangkit dari duduknya meski masih enggan dan berjalan keluar.

“Tunggu!” Dini menoleh, terlihat Dhika buru-buru meletakkan semua peralatan kebersihannya, “Gue antar.” Ia menyusul Dini.

Dini dan Dhika berjalan beriringan pelan menuju rumah Dini yang berjarak hanya beberapa blok dari Kedai Jajan.

“Elo hilang seminggu kemana?” Tanya Dini. Ia mencoba untuk tidak memikirkan dinginnya suasana rumah selagi ia sedang berjalan menuju kesana.

“Jalan-jalan.”

“Sama Dante?”

Dhika menoleh, “Emang Dante kemana?” Tanya Dhika balik.

“Entah. Dia menghilang juga sama kayak lo.”

“Udah lo cari ke fakultasnya?”

“Kalo dia ada, nggak usah gue samperin ke fakultasnya juga dia udah nongol sendiri di fakultas gue.” Dini mendesah, “Jadi lo nggak pergi sama Dante?”

Dhika tidak menjawab.

“Nggak?” Tanya Dini lagi.

Dhika hanya tersenyum dan sedikit menaikkan alisnya.

“Lo penasaran nggak sih sama Dante? Dia itu sejak pertama kita kenal udah ngekos sendiri dan kita nggak pernah tau cerita tentang keluarganya.” Dini terlihat berpikir, “Tapi kayaknya sih dia anak orang kaya. Dia selalu banyak uang.”

“Lo suka dia karena dia banyak uang?”

Dini mengerutkan kening, “Pas kenalan sama dia gue nggak tau kalo dia banyak uang. Yang gue tau dia bisa mecahin rekor abadi lo. Gue jadi suka sama dia karena dia bisa ngalahin kesombongan lo.” Kata Dini sambil tertawa.

Dhika mendorong kepala Dini pelan. Ia tidak sudi mengingatnya. Mengingat rekornya selama dua tahun dipatahkan oleh seorang anak laki-laki pucat yang kebetulan sedang duduk membaca buku di tepi danau.

********************************************

Well, saya mulai menulis lagi. Sebuah aktivitas sepanjang hidup yang sudah saya tinggalkan selama kurang lebih tiga tahun belakangan ini.

Pengaruh terbesar saya dalam menulis adalah drama Korea. Jadi nggak usah bingung kalo merasa bahwa tulisan saya memiliki sedikit cita rasa Korea dalam penyampaiannya ataupun pemilihan diksi yang cenderung berulang seperti yang ada dalam drama Korea.

Tidak ada tujuan muluk kenapa saya menulis lagi. Hanya karena saya ingin menulis. Saya ingin menumpahkan sesuatu yang ada dikepala saya menjadi sebuah tulisan sehingga itu tidak lagi memenuhi kepala saya.

Kenapa judulnya Cinta Itu Nggak Ada? Awalnya saya ingin memberi judul Tentang Cinta. Tapi saya merasa judul itu terlalu berat untuk sebuah cerita ringan yang saya tuliskan.

Cinta itu nggak ada terlintas dipikiran saya setelah tulisan bagian pertama ini hampir jadi. Saat saya sedang memikirkan masalah apa yang dihadapi satu tokoh hingga dia nggak percaya akan adanya cinta. Dan setelah saya renungkan sepertinya judul ini lebih cocok dan lebih eye-catching dibandingkan dengan judul Tentang Cinta itu tadi.

Cinta yang saya ceritakan disini bukan hanya cinta antara dua orang manusia. Tapi ada banyak cinta. Cinta anak terhadap orang tua. Cinta orang tua terhadap anak. Cinta terhadap sesama. Cinta terhadap hidup. Cinta terhadap mimpi. Dan lain-lain.

Cerita dalam judul ini ada banyak. Tidak hanya berkisah antara satu atau dua orang dengan segudang masalah. Tetapi banyak orang dengan masalah mereka masing-masing yang benang merahnya adalah Kedai Jajan. Makanya saya buat sub judul setelah judul. Mungkin cerita ini setengah cerpen setengah cerbung atau bisa juga disebut serial. Or whatever you want to call it. Saya hanya ingin menulis dengan aturan sepenuhnya di tangan dan pikiran saya. Bukan pakem-pakem tentang baik dan benarnya sebuah tulisan.
Saya lebih nyaman menulis cerita ‘cerpen like’ yang bisa bersambung bisa tidak. Karena masih sulit buat saya untuk membuat sebuah cerita yang panjang dengan konflik dan deskripsi yang konsisten.

Kenapa sub judul kali ini berjudul Esittely? Esittely adalah bahasa Finlandia dari perkenalan. Bagian pertama cerita ini adalah memperkenalkan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Cerita tentang Andhika, Andini, Andante, Arya, Mahiya (Mahi), dan Panji. Dengan masalah percintaan mereka masing-masing.

Kenapa pilih bahasa Finlandia? Karena saya suka negara-negara yang berada di kutub utara dan setelah saya google translate bahasa Finlandia dari perkenalan yang paling unik diantara negara-negara nordik yang lain.

Harapan saya pada tulisan ini tidak banyak. Ada orang yang tidak saya kenal sudi meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini dan bersedia berkomentar adalah sebuah anugerah. Harapan saya tidak terletak pada respon orang lain tetapi pada diri ini dengan mempertahankan semangat untuk tetap menulis diawali dengan cerita yang sangat ringan ini.

Enjoy…!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pakaian Perempuan

Dialog Tentang Bahagia

Kimbab/ Gimbab