Dialog Tentang Bahagia

Lala menatap kosong pada pemandangan kota melalui dinding kaca di depannya. sudah lebih dari dua jam dia hanya duduk di kursi kayu itu sambil memangku laptop Lenovo Yoga yang masih dalam kardusnya itu. Tidak bergerak maupun berbicara. Dan untungnya tidak ada siapapun di ruang entertainment itu.

"Lala?!" Glen keluar dari pantry dan terkejut melihat seseorang duduk di bangku kayu. Ia sempat berpikir bahwa itu makhluk halus karena sama sekali tak bergerak, "Kamu ngapain duduk sendirian disini? Nggak pulang?"

Lala menoleh, Glen duduk di sisinya dan menaruh minuman dinginnya di meja.

"Waah?! Kemarin saya ajak makan malem bareng anak-anak kamu nggak mau karena buru-buru mau pulang. Sekarang jam segini belum pulang. Kamu sehat?" Glen setengah mengejek.

Lala tidak bereaksi atas ejekan Glen. Ia masih menatap kosong pemandangan di balik dinding kaca di depannya. Ia masih merasa kejadian semalam seperti mimpi. Kemarin terjadi apa? Monas. Ulang tahun yang lebih cepat dua minggu. Putus. Arya menangis. Leukemia Mileositik.
Pasti mimpi, itu semua pasti mimpi. Pikir Lala sampai ia terpaku pada Lenovo Yoga lengkap dengan dusnya dipangkuannya. Benda yang menghancurkan harapannya bahwa yang terjadi semalam hanya mimpi. Tanpa sadar airmata Lala mengalir. Ini semua bukan mimpi.

"Kenapa nangis La?" Tanya Glen sambil menyerahkan tisu yang diambilnya dari kotak di atas meja pada Lala.

Lala menyusutkan airmatanya dengan tisu yang diberikan Glen, "Bahagia itu apa sih, Mas Glen?" Lala malah balik bertanya pada Glen.

"Hah?!" Glen tertegun. Tidak bisa menjawab pertanyaan Lala. Sulit untuk merangkai kata untuk menjawab pertanyaan Lala. Bahkan ia sudah melupakan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Ia tidak ingin berpikir sejauh itu.

Lala menoleh karena tidak ada sepatah katapun dari Glen. Ia tersenyum sinis, "Nggak tau kan? Sama abstraknya kayak cinta. Cuma bisa dirasakan dan setiap orang merasakannya dengan cara yang berbeda. Dan akhirnya mereka menafsirkannya sesuai dengan apa yang dirasakannya."

Glen nyengir karena Lala menjawab pertanyaannya sendiri. Ia setuju dengan pendapat Lala tapi juga tidak. Kenapa ada satu kata bahagia jika definisi bahagia tidak bisa seuniversal definisi tentang semangka misalnya?

"Kamu kenapa sih? Kok, hari ini aneh banget. Nggak asyik." Glen mencoba mengalihkan diskusi mereka tentang bahagia. Yang ujung-ujungnya akan merambat tentang hidup. Glen tidak ingin berpikir sejauh itu. Ia lelah jika harus berpikir sejauh itu.

Lala menerawang ke dinding kaca di depannya.
"Entah kenapa semakin bertambahnya usia saya ngerasa hidup yang harus saya jalani semakin sulit. Bukan saya nggak bersyukur atas apa yang sudah Tuhan anugerahkan pada saya, tapi arti bahagia buat saya jadi semakin sulir dimengerti. Karena semakin sulit dimengerti pada akhirnya jadi semakin sulit diraih." Lala tidak menggubris perkataan Glen dan masih terus saja berbicara tentang kebahagiaan seperti orang meracau.

"Iya, iya. Terus apa?" Sebenarnya Glen berminat pada topik yang diangkat Lala. Hanya saja ia akan kembali ke masa lalunya jika ia meladeni semua perkataan Lala dengan omong kosong filsafatnya yang membuatnya hancur dulu.

"Dulu. Bahagia buat saya sesederhana mendapatkan mainan keinginan setelah merengek seharian pada Ayah. Atau menang hadiah lomba 17 Agustusan meski hadiahnya hanya buku dan pensil yang mengingatkan kita pada belajar yang, yah, saya nggak suka belajar. Tapi sekarang..." Lala menarik nafas panjang sebelum menyambung kembali paragrafnya, "saya masih nggak tau arti bahagia buat saya sendiri. Kalo orang bilang bahagia itu adalah membuat orang lain bahagia. Iya, tapi apa kita  nggak punya hak untuk dibahagiakan? Kadang saya pikir jika saya mendapatkan sesuatu yang saya inginkan saya akan bahagia, tapi ternyata tidak sebahagia yang saya bayangkan. Ah, dan saya harus siap karena tidak ada yang namanya selamanya. Bahagia itu selalu satu paket dengan kehilangan. Dan kehilangan itu tidak pernah membahagiakan. Rumit bukan?"

Glen menarik nafas panjang, "Mau saya kasih nasihat tentang kebahagiaan?"

Lala menoleh pada Glen kemudian mengangguk.

"Bahagia itu tidak serumit yang kamu pikirkan. Bahagia itu sederhana, hanya aplikasinya yang rumit."

Lala mengernyitkan kening tanda tidak mengerti.
"Bahagia itu tidak menggantungkan harapanmu pada apapun kecuali diri kamu sendiri dan Tuhan. Jika kamu ingin memberikan apapun yang kamu punya harta, cinta, bahkan jiwa berilah dengan tulus. Tanpa berharap apapun pada orang yang kamu beri. Meski pada akhirnya orang yang kamu beri itu berbalik menghancurkan hidupmu, kamu pasti tidak akan peduli karena kamu tidak berharap apapun darinya. Meski akhirnya mereka nanti akan menghilang atau mati, kamu tetap bahagia karena kamu tahu bahwa kamu telah memberikan yang terbaik untuk mereka."

Lala mendesah, "Sulit."

Glen tersenyum, "Kamu tahu kenapa seseorang sulit bahagia?"

Lala menggeleng.

"Karena ia menggantungkan kebahagiaannya pada selain Tuhan dan dirinya. Saya bahagia kalau punya ini. Saya bahagia asal hidup dengan dia. Saya bahagia kalau begini dan begitu. See? Dia menyerahkan kebahagiaannya pada hal-hal di luar dirinya. Padahal semua itu berpotensi mengkhianati dan mengecewakan."

Lala menyimak paragraf panjang dari Glen dengan seksama.

"Yang tidak akan mengkhianati dan mengecewakanmu hanya dirimu sendiri dan Tuhan. Jadi, jangan pernah menyerahkan kebahagiaan pada hal-hal di luar dirimu jika kamu tidak ingin kecewa atau sakit hati."

Lala mengangguk-angguk dan tersenyum pada Glen.

Glen menggaruk kepalanya yang tak gatal, " Ah, ngomong apa saya barusan? Lagi kesurupan kali yaa."

Lala tertawa. Tawa pertamanya sejak Arya memutuskan hubungan dengannya.

Glen tersenyum, "Jadi nggak usah sok-sokan pengen bahagia deh kalo masih pamrih dalam hal apapun. Ingat ya, sekecil hal apapun yang kita inginkan dari orang lain terhadap kita itu sudah merupakan harapan. Dan itu nggak baik buat kebahagiaan kita."

"Terus gimana dong?"

"Ya, kamu nikmatin aja, La. Namanya juga hidup. Kadang di atas, kadang di bawah. Toh hidup juga udah ada Yang Ngatur. Nggak usah dibawa ngambek kalo ternyata takdir kamu nggak sesuai dengan yang kamu harapkan."

Lala cemberut sambil menatap kotak Lenovo Yoga di pangkuannya.

"Wiiih, laptop baru tuh!" Goda Glen.

"Dari mantan."

"Apa?! Mantan?! Jadi, kamu putus sama Arya?" Suara Glen terdengar sumringah.

"Iya. Dia minta putus dan ngasih saya ini sebagai hadiah ulang tahun. Padahal saya ulang tahunnya dua minggu lagi."

Glen mengelus-elus kepala Lala lembut, "Cup. Cup. Karena itu makanya kamu jadi sok filosofis gini?"

"Ya, abis dia bilang kita putus untuk kebahagiaan saya. Kebahagiaan yang mana coba? Orang saya sakit hati gini diputusin sama dia."

Glen tertawa, "Udah ah sakit hatinya. Kan masih ada saya disini. Kamu jadi pacarnya Mas Glen aja ya?"

Lala menjulurkan lidahnya dan bangkit dari duduknya, "Mas Glen belajar jadi orang bener dulu baru saya pertimbangkan." Katanya sambil berlalu meninggalkan Glen yang tertawa mendengar perkataannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hey!

Pakaian Perempuan